Selasa, 17 Maret 2009

Menadah Hujan di Lereng Bukit

Suatu kali aku duduk di gubuk pinggir pematang sawah.Hamparan sawah terasering yang dibuat petak-petak kecil yang bertingkat-tingkat dengan luas yang beragam. Kulayangkan pandanganku ke hamparan di depanku, sawah yang terbentang luas. Benih-benih padi yang telah usai ditancapkan ke sawah, ditanam dengan tata pola yang rapi, baris berbaris, sejengkal demi sejengkal. Senandung doa di sanubari mengiringi tiap bibit yang dicelupkan ke tanah.

Bulan kemarin, ketika hujan berubah arah mulai menyiram tempat kami, memberikan harapan untuk segera kami mengambil cangkul untuk membalik tanah persawahan kami, tanah yang keras kami hancurkan. Kemudian mendiamkannya untuk selanjutnya kami injak-injak biar rata, menenggelamkan rumput kebalik tanah.

Sebulan telah berlalu. Semai benih telah setinggi lutut, Saat tanam padi di sawah telah tiba. Peluh keringat yang terus mengalir disetiap tubuh dibawah terik matahari yang telah sepuluh derajat lewat diatas kepala. Sejenak dipinggir pematang ini, mengisi kekuatan lagi dari rantang makanan yang dibawa dari rumah tadi pagi-pagi sekali.

Ramai kami dipinggir pematang. Gelak tawa selalu ada walau diantara cerita-cerita sederhana, tawa murni, cerita ini versi kami, jadi parodi kesenjangan tiap melakonkan tentang peristiwa-peristiwa dan gaya hidup yang diberitakan dan dipertontonkan media.
Kurasakan getaran tiap kali kumasuk dalam mimpi-mimpi para petani ini. Penuh harapan di musim panen empat bulan mendatang, karena Kami hanya mengandalkan musim hujan yang datang di sini.

Realitas yang telah menjadi asing di tempat lain. transformasi dibawah kaki bukit ini hingga bentangan jauh ke tempat lain telah berubah, subsistem fisik telah menjadi beda,lahan sawah, tata-tanam, sistem irigasi, serta subsistem sosial pun tak sama lagi, lahan sawah yang berubah fungsi, status petani yang menjadi buruh, bahkan kepemilikan lahan pun berubah.