Minggu, 26 Januari 2014

Lahirnya Sang Berambut Karang

(Kisah lahirnya Arumpone La Saliyu Karampeluwa)

Oleh Ethos AHM


1398. Tersebutlah suatu wilayah yang terletak di sebelah timur sungai Walennae dan selatan sungai Cenrana. Tumbuh kerajaan-kerajaan kecil yang tumbuh dan saling berperang antara satu dengan yang lain. Suatu masa kepemimpinan generasi setelah Manurunge ri Matajang. Putranya yang menduduki tahta pemimpin Bone selanjutnya dikenal dengan Arumpone Laummasa, Raja Bone. Ia memiliki kemampuan daya ingat yang tajam dan penuh perhatian. Ia dikenal jujur, adil dan bijaksana dalam menjalankan roda pemerintahan.



Tanah yang subur, bentangan alam yang menghampar hijau, pepohonan yang selalu siap ditebang buat dipergunakan, ladang dan sawah pun dipanen. Pada masa pemerintahannya, rakyatnya mulai memanfaatkan peralatan logam untuk bercocok tanam maupun berburu.

Bahkan Raja pun mulai memperkuat perlengkapan perang bala tentaranya. Pedang, tombak, keris dan badik serta perlengkapan tameng, mulai ditempa dari besi. Sehingga ia pun mendapat gelar “Petta Panre Bessie”, pengakuan akan kepandaiannya mengolah bahan logam. Ia berhasil memanfaatkan perdagangan besi di Cenrana yang didatangkan dari kerajaan Luwu. Besi yang sumbernya bisa ditemukan dengan mudah di Luwu.


Laummasa Petta Panre Bessie telah mengembangkan wilayah kekuasaan kerajaan Bone. Ia telah menaklukkan wilayah-wilayah seperti Anro Biring, Majang, Biru, Maloi dan Cellu, hampir tidak ada perlawanan berarti bagi pasukannya.

Hingga berselang waktu, di masa usianya yang sudah lanjut dirundung gelisah. Arumpone Laummasa Petta Panre Bessie, rambut putihnya yang mulai tampak jelas semakin menegaskan kerutan di raut wajahnya akan usia yang telah mengiringinya. Sekalipun Ia telah memimpin kerajaannya dengan baik, namun demikian disadarinya bahwa kondisi kesehatannya pun mulai melemah.

Tatkala tiba di Bone usai berperang, sampailah kepadanya kabar berita bahwa adiknya yang bernama We Pattanra Wanuwa yang berada di Palakka, yang telah menjadi istri Lapattikkeng Arung Palakka akan segera melahirkan. Berita yang menggembirakan baginya, sekaligus diliputi diliputi ketegangan. Karena putra yang akan lahir akan menjadi generasi penerus tahta, bukan saja akan menjadi Raja Palakka, namun juga dapat menjadi pewarisnya, dapat menjadi Raja Bone.

Ia hanya mempunyai dua putri, bernama Sulewakka dan Suwalle. Putri-putri dari istrinya yang berasal dari bangsawan biasa, putri dari Matowa Ciung. Raja tidak memiliki anak pattola, anak yang berhak menggantikannya kelak yang dapat duduk di singgasana sebagai Mangkau, Raja di Kerajaan Bone. Kedua putrinya hanyalah tergolong sebagai anaq Cera’.

Dipikirkanlah saudara-saudarinya yang telah berpencar di berbagai wanua. Saudaranya yang bernama La Wajo Langi telah menyeberang ke Butung (Buton) dan menetap disana, sementara La Raja Langi telah menikah dengan We Tenri Sui, dan jadi penguasa di kerajaan Cinnottabi[1] bersama istrinya.

Sedangkan saudara perempuannya, We Samateppa sudah mendampingi pula suaminya, La Ureng Riwu Arung Mampu. We Tenri Salogan dinikahkan dengan La Ranringmusu Arung Otting. Begitupula dengan We Arantiega yang kawin dengan La Patongarang Arung Tanete.

Kini, We Pattanra Wanuwa yang telah menikah dengan penguasa di Palakka, Lapattikkeng Arung Palakka, telah menunggu hari kelahiran bayinya. Ia pun sadar, hubungannya dengan Lapattikeng tidaklah harmonis. Perselisihannya di masa lalu dengan iparnya sebelum menjadi Raja Bone, masih berbekas. Masa lalu, perang yang terus berlangsung tiga bulan di antara mereka berdua tanpa ada yang menang dan kalah. Lalu pada akhirnya berdamai dan berikrar mengakhiri perkelahian di antara mereka. Keduanya menyadari bahwa permusuhan tidak akan membawa keuntungan bagi mereka. Orang tuanya pun mempererat hubungan Bone dan Palakka dengan menikahkan adiknya dengan Lapattikkeng Arung Palakka.

Kini, keponakannya yang akan lahir memiliki darah pattola sengngeng,[2] merupakan pewaris tahta dua kerajaan, yang dapat mempersatukan Bone dan Palakka. Telah beberapa hari ia bermuram diri. Tak biasanya ia berlama-lama dalam Istananya. Tak ada yang memahami kenapa sang Raja tampak tegang. Bila hendak perang, sikap seperti itu tak pernah terlihat. Hanya raja yang memahami, Ia sendirilah yang mengetahui pikiran dan perasaannya.

Arumpone memikirkan bahwa kelahiran ponakannya akan menjadi peristiwa penting yang kelak sangat menentukan tahta dua kerajaan. Bila anak yang akan lahir ini dibesarkan di Palakka, maka Bone akan mengikut ke Palakka. Namun bila ia berhasil membawa anak ini ke Bone, maka sebaliknya, Palakka lah yang akan bergabung ke Bone.

Setelah dipikirnya dengan matang, Petta Panre Bessie kemudian menyuruh kedua anaknya pergi ke Palakka, dimana bibi mereka yang sedang mengandung sang jabang bayi. Arumpone segera berpesan kepada anaknya, Suwalle dan Sulewakka; ”Berangkatlah kalian ke Palakka. Kalau Puammu telah melahirkan, maka ambil dan bawa bayi itu secepatnya kemari. Nantilah di sini baru dipotong ari-arinya dan ditanam tembuninya.”

Raut kaget di wajah kedua putrinya seketika nampak. Namun, setelah menyimak pesan ayahnya, tanpa banyak waktu segera berkemas. Berangkatlah keduanya ditemani beberapa pengawal menyertai perjalanannya.

Tak banyak rintangan yang dihadapi dalam perjalanan menuju Palakka, hingga tiba di rumah bibinya. Suwalle dan Sulewakka pun mengikuti detik-detik kelahiran sepupunya. Hingga lahirlah sepupunya. Tangisan suara bayi pun memecah keheningan malam.

Di tengah kesibukan dan kesempatan yang hanya berselang waktu yang sempit, tanpa membuang waktu lebih banyak, setelah bayi berada dalam gendongan Suwalle, Sulewakka pun memberikan aba-aba tuk beranjak perlahan menuju ke pintu belakang. Setelah berhasil keluar lewat pintu belakang tersebut,  keduanya pun berlarian kabur membawa sang bayi dan bersama rombongan pengiringnya meninggalkan Palakka.

Seisi Istana Palakka menjadi gempar. Saat itu, Lapattikkeng Arung Palakka tidak ada di tempat. Tak terpikirkan bila kedua keponakannya yang menemani detik-detik kelahiran putranya telah bermaksud membawanya kabur.

Ketika mengetahui bahwa anaknya dibawa pergi ke Bone, seketika menjadi marah dan gundahlah hatinya. Diperintahkanlah pasukan untuk mengejar mereka yang telah membawa anaknya.

Dalam pekatnya malam, yang tak cerah di bawah langit, dimana bintang-bintang pun tak menunjukkan kehadirannya, seakan enggan menyaksikan malam itu. Selama dalam perjalanan Suwalle dan Sulewakka tidak pernah menengok ke belakang. Terus berlari menembus hutan belantara.

Melewati tengah malam hingga di pagi buta pengejaran terus dilakukan. Namun pengejaran itu tidak berhasil, seketika pasukan yang mengejar kehilangan jejak. Kabut tiba-tiba turun, menghalangi arah pandangan pasukan Palakka yang mengejar mereka. Obor-obor yang menyertai para pasukan tidak lagi berarti apa-apa di antara kabut yang menutup rapat-rapat segala ruang yang, menyembunyikan alam di balik selimutnya.

Dalam pengejaran yang sangat melelahkan itu, akhirnya para pasukan pengejar tidak dapat berbuat apa-apa lagi selain kembali ke Palakka dengan tangan hampa.

Sementara itu, setelah jauh meninggalkan pasukan Palakka, singgahlah rombongan Suwalle dan Sulewakka beristirahat di tengah perjalanan mereka menuju Bone. Tiba-tiba setelah tak terdengar apa-apa sepanjang perjalanan, tangisan bayi mulai memecah dinginnya alam, menyayat pilu.

Paniklah rombongan itu mencari air, guna menghilangkan dahaga sang Bayi. Beruntunglah para pengejar sebelumnya tidak lagi memburu mereka, sudah balik ke palakka, sehingga tangisan itu hanya memecah dini hari, saat lelapnya ayam yang masih bertengger di antara rimbun pepohonan.

Saat-saat mereka berputus asa dalam pencarian air, terdengar gonggongan anjing tak jauh dari tempat rombongan itu beristirahat. Dua orang dari rombongan segera menghampiri arah gonggongan anjing itu berada. Ditengoklah dari balik rimbun pohon yang menghalangi.

Setelah memperhatikan sejenak anjing itu dan apa yang menjadi perhatian anjing itu, seketika mereka mendekatinya dan anjing itu berlari menjauh, lalu lenyap dibalik pepohonan. Ternyata yang menjadi perhatian anjing adalah mata air yang baru saja keluar dari celah tanah. Betapa girangnya, segera memanggil semua rombongan untuk menikmati mata air tersebut.

Dengan segera diseduhlah air itu. Dengan memakai telapak tangannya, Sulewakka meminumkan air itu ke sang bayi yang sementara berada dalam gendongan Suwalle. Tenanglah sang bayi kemudian. Semua rombongan yang turut bersama dalam perjalanan itu, mengucap syukur kepada sang Dewata.

Setelah berbagai rintangan berhasil dilewati, hingga sampailah rombongan mereka di Bone. Setibanya di Salassae[3], barulah ari-ari bayi yang baru lahir itu dipotong dan dicuci darahnya. Arumpone Petta Panre Bessie sangat gembira melihat bayi itu yang merupakan keponakannya yang akan mewarisi tahta Bone.

Berceritalah Suwalle dan Sulewakka kepada ayahnya tentang segala peristiwa yang dialami mereka sepanjang perjalanan dari Palakka hingga sampai di Bone. Begitupula tentang Saliyu (kabut) yang tiba-tiba turun menghalangi pandangan para pengejar mereka sehingga berhasil tidak terkejar lagi.

Setelah mendengar cerita kedua anaknya, Arumpone Petta Panre Bessie kemudian memberi nama anaknya “Lasaliyu”, sesuai peristiwa yang telah dialaminya dalam perjalanan menuju Bone. Bayi laki-laki yang sehat dan memiliki rambut karang[4], sehingga sang bayi pun kerap dipanggil “Karampeluwa”.

Arumpone Petta Panre Bessie kemudian mengutus surona (dutanya) ke seluruh penjuru wilayah kerajaan menemui dewan adat (hadat pituE). Petta Panre Bessie berhasrat mengumpulkan para arung di Bone untuk membahas masalah ini.

Kemudian beberapa orang diperintahkan untuk membangun Baruga. Sebuah bangunan sederhana berupa panggung sekadar untuk menaungi Baginda beserta anggota Hadat Pitue dari terik matahari atau hujan.

Pertemuan dengan para Dewan Adat tersebut dilangsungkan. Petta Panre Bessie menjelaskan peristiwa itu dan kelangsungan masa depan kerajaan Bone. Disampaikanlah tentang pewarisnya kelak dan peristiwa yang dilalui kedua putrinya dari Palakka.

Rapat itu pun mengiyakan pikiran Raja Bone. Bahwa bayi tersebutlah yang berhak menjadi pewaris tahta Bone selanjutnya, karena timbangan darahnya murni, darah pattola sengngeng atau anak mattola matase, darah Raja yang mengalir dalam kedua orang tuanya, ayah dan ibu.

Setelah mendiskusikan hal tersebut kepada dewan adat, bahwa keputusan Raja Petta Panre Bessie akan segera melantik bayi Putra Arung Palakka tersebut menjadi penerus Raja Bone di hadapan rakyatnya pagi ini. Hal tersebut keputusan yang sulit diterima oleh para dewan adat, namun keputusan tersebut merupakan pilihan paling tepat, guna menghindari pertumpahan darah antara Bone dan Palakka. Bila Arung Palakka akan berperang melawan Bone, maka sama saja berperang melawan anak, karena sang bayi telah diangkat menjadi Raja Bone pagi itu.

Pelantikan tersebut akan menjelaskan kepada Lapattikkeng Arung Palakka, bahwa maksud peristiwa tadi malam ini dengan dibawanya sang bayi sampai ke Bone tak lain untuk melantiknya sebagai penerus Raja Bone selanjutnya. Sehingga Arung Palakka pun harus menerima takdir sang Bayi ini. Ini akan mendamaikan,  akan menghindarkan kemungkinan perang dengan kerajaan Palakka yang dapat terjadi.

Seusai pertemuan tersebut, Petta Panre Bessie, Raja Bone mengundang seluruh rakyatnya untuk datang berkumpul di istana kerajaan, sepagi mungkin.

Tatkala matahari mulai menampakkan dirinya di arah timur, mulai berbondong-bondong rakyatnya datang di halaman depan Barugae.[5] Terlihatlah pula Matoa pitue (tujuh dewan adat Bone) telah berkumpul pula di Barugae, beserta rakyatnya yang berasal dari pitu wanuwa (tujuh unit utama kerajaan) maupun yang berasal dari daerah-daerah palili[6]. Mereka datang dalam keadaan siap siaga untuk menghadapi kemungkinan perang, sehingga masing-masing lengkap dengan senjata perangnya. Bendera Woromporonge pun berkibar dengan gagahnya, menyemangati suasana di pagi hari itu.

Turunlah Arumpone di Baruga menyambut rakyatnya dan berkata :
”Saya undang kalian untuk mendengarkan bahwa saya telah mempunyai pewaris tahta kerajaan ini untuk menjadi penerusku, seorang anak laki-laki yang kuberi nama Lasaliyu Karampeluwa. Mulai hari ini saya menyatakan bahwa kepada Lasaliyu lah saya menyerahkan kedudukan saya sebagai Arumpone. Dan kepadanya pula saya serahkan untuk melanjutkan perjanjian yang mengikat antara Puatta Manurunge ri Matajang dengan rakyat Bone.”

Haru biru seluruh orang Bone menyambut pesan yang disampaikan oleh Arumpone, kegembiraan pun terpancar di seluruh kerajaan Bone.

Setelah Arumpone menyampaikan pesan kepada rakyatnya, mulailah para arung di Bone melakukan mangngaru[7], sumpah setia di hadapan sang Raja, Arumpone Lasaliyu Karampeluwa.

Petta Panre Bessie kemudian menyematkan simbol pelantikan kepada pewaris tahta Bone, Karampeluwa, sang bayi yang baru berumur sehari. Setelah itu dinaikkanlah Karampeluwa ke Langkanae (istana). Pesta dengan nariule sulolona (acara selamatan kelahiran) yang sekaligus dirangkai dengan pelantikan sang pangeran mahkota kerajaan. Pesta dilangsungkan selama tujuh hari tujuh malam.

Waktu berselang sejak peristiwa itu. Setiapkali Petta Panre Bessie akan bepergian, bayi itu dipelihara oleh bibinya yang kerap datang berkunjung di bone.

Sampailah suatu hari yang dibayangkan oleh Petta Panre Bessie tiba, dimana kondisi kesehatannya yang memang semakin buruk dan terbaring sakit keras. Petta Panre Bessie pun berpesan bahwa bila nanti ajalnya tiba, maka hendaknya jasadnya nanti dikubur, tidak dibakar sebagaimana lazimnya para penduhulunya. Sehingga setelah penguburannya mendapat gelar “Petta Panre Bessie Mulaiye Panreng”[8].

Karampeluwa boleh dikatakan telah menjadi Raja sejak lahir, karena dalam usia satu malam, sudah dilantik menjadi Arumpone. Kalau ada sesuatu yang akan diputuskan maka sepupunya yang bernama Suwalle, anak perempuan Petta Panre Bessie, yang memangkunya menjadi juru bicaranya. Kemudian yang bertindak selaku Makkedang Tana[9] adalah sepupunya yang bernama Sulewakka, anak sulung perempuan Petta Panre Bessie.

To Suwalle kemudian menjabat sebagai Tomarilaleng Pertama di kerajaan Bone dan To Salawakka sebagai Makkedang Tana Pertama di kerajaan Bone, yang bertindak sebagai juru bicara kerajaan pada masa pemerintahan sepupunya Lasaliyu Karampeluwa sebagai Raja Bone ke-III.


*****

Daftar Bacaan dan kajian :
Prof. Dr. Mattulada. 1995. Latoa, Satu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis. Makassar: Hasanuddin University Press.
Drs. A. Sultan Kasim. 2002. Aru Palakka Dalam Perjuangan Kemerdekaan Kerajaan Bone. Bone: Penerbit CV. Walenae.
Drs. Asmat Riady Lamallongeng. 2008. Catatan disadur dari Lontara’ Akkarungeng ri Bone, milik Drs. A. Amir Sessu yang diterbitkan dengan biaya Pemerintah Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan tahun 1985. http://telukbone.wordpress.com/page/12/
Narasumber Anonim, 2010.




[1] Cikal Bakal kerajaan Wajo
[2] Mattola Sengngeng = berdarah takku, Matase, putra/putri mahkota yang kedua orang tuanya adalah Raja.
[3] Istana
[4] Rambut yang tegak ke atas
[5] Balai pertemuan
[6] Daerah taklukan atau bergabung secara damai
[7] Mengucapkan sumpah setia.
[8] Raja bone pertama yang dikubur setelah manurunge ri matajang mallajang (raib ke langit).
[9] Makkedang Tana adalah jabatan Mangkubumi atau Perdana Menteri.

Sabtu, 11 Januari 2014

Yang Menggetarkan Selat Malaya

1400an...

Kala itu, Selat Malaya, perairan yang ramai di kunjungi para pedagang dari berbagai penjuru dunia. Selat yang diapit oleh semenanjung Malaya dan semenanjung Andalas, yang terletak di barat Nusantara. Nampaklah ratusan kapal bermunculan dari ujung laut. Ketika angin mulai membawanya mendekat, terlihatlah ciri khas kapal-kapal itu yang beda dengan kapal lainnya yang senantiasa berlalu lalang di selat itu. Namun iringan kapal itu seakan tak asing lagi, para pedagang yang berlabuh di Malaka sudah terbiasa dengan kedatangannya.