Sabtu, 20 Oktober 2012

Jenderal itu Kini ke Senayan...

Oleh : Ethos AHM

Belasan tahun silam, negeri ini mengalami titik balik dengan berakhirnya rezim militer. Dwifungsi militer yang pernah berlakubukannya menjaga rakyat dari ancaman yang datang dari luar, tetapi sebaliknya, cukup sibuk mengurusi rakyat mulai dari kata-kata yang harus dipakai, hingga buku-buku apa yang harus dibaca. Bila semua itu tidak dituruti maka tidak segan-segan aparat militer menangkapnya bahkan membunuhnya, dengan dalih subversif atau antek-antek Komunis !.




Tapi rezim itu telah berlalu, kini iklim demokrasi telah tumbuh subur. Jangankan mengumpat presiden sendiri, kini bebas mengumpat negara-negara lain seperti Amerika. Berbagai kebijakan yang menuntut transparansi dan akuntabilitas diberlakukan, hak-hak azasi mulai dihargai.

Namun suasana kebebasan ini bukannya tanpa resiko pula. Sebagian yang merasa kepentingannya terganggu, bahkan menjadi korban bulan-bulanan cemoohan tatkala melakukan tindakan korupsi, atau tatkala bayang-bayang masa lalunya dikupas setelanjang-telanjangnya oleh media, jelas itu tidak akan membuat nyaman.  Bergulirlah wacana : euforia demokrasi sudah mulai kebablasan, dan tak tentu arah.

Isu perlunya regulasi yang mengatur ulang kembali keamanan dalam negeri mulai didengungkan. Dengan dalih “Keamanan Nasional” nantinya semua bisa dikendalikan, mulai dari orang-orang bodoh hingga perdebatan di senayan  (DPR), mulai dari isu flu burung hingga tukang protes program pembangunan (lihat jenis ancaman pasal 17 ayat 2 dan penjelasan pasalnya dalam RUU Kamnas).

Semua itu nantinya bisa dibungkam, bisa ditangkap, diculik hingga dilenyapkan dari muka bumi (lihat pasal 54 poin (e) beserta penjelasannya dalam RUU Kamnas). Segala yang bertentangan dengan undang-undang ini tidak berlaku (Lex spesialis ini diatur dalam pasal 59 ayat 1 RUU Kamnas).

Ini sangat mudah, dengan memberikan peran kepada aparat militer untuk memimpin tugas itu, maka semua bisa dilihat ancaman nasional (Diatur dalam pasal 24 hingga pasal 42).Dengan UU ini maka seorang prajurit pasti tindakannya benar bila menangkap, menyadap, membunuh, yang pasti korbannya orang bodoh, karena sang prajurit tidak mungkin ditangkap karena alasan lebih bodoh.

Daerah pun dapat melakukan aktivasi militer melalui forum keamanan daerah tanpa melalui keputusan DPR sebagai pusat(lihat pasal 20 dan 21). Ini pasti bukanlah ide bodoh (karena bisa kena pasal, he). Kepala daerah pun akan sulit disentuh hukum bila melakukan penyalahgunaan kekuasaan atau korupsi, cukup berlindung sebagai ketua Forum Keamanan daerah (seperti ala Kopkamtib Orde Baru).

Dengan dikemas RUU Keamanan Nasional, teruslah dinyanyikan bahwa semua rakyat butuh rasa aman, tentram dan damai. Bungkusan Paket RUU ini pun dibungkus serapat-rapatnya tanpa rakyat perlu tahu apa isinya.

Namun, rakyat tidaklah sebodoh seperti anggapan penyusun RUU tersebut. Sebagian rakyat sudah tahu isinya apa, ternyata tak seindah judulnya. Tak lain adalah metamorfosis RUU penanggulangan keadaan bahaya (PKB) yang pernah ditolak padatahun 1999 oleh rakyat yang menimbulkan korban jiwa mahasiswa yang dikenang dengan tragedi semanggi II.

Tak peduli seberapa banyak tokoh, LSM, maupun mahasiswa yang berunjuk rasa menolak RUU Kamnas ini. Rancangan UU ini terus dipaksakan untuk dibahas di DPR.  Lobi gerilya ke Senayan pun mulai dilakukan.  Kini, jenderal yang dulu menjabat Pangdam Jaya itu telah duduk di posisi strategis di kementerianPertahanan. Jenderal yang sampai hari ini masih dicap sebagai penanggung jawab korban penculikan dan penembakan yang dikenang dengan Tragedi 1998.

Maka momentum ini tidak boleh lewat, rezim harus kembali dalam mendikte rakyat. Kejayaan para Babinsa di masa lalu harus dikembalikan. Aparat militer yang kini “menganggur” karena tidak ada perang harus diaktifkan di tengah masyarakat sekali pun keahlian dan sekolahnya hanya mengajarkan “bagaimana cara membunuh musuh.”

Slogan-slogan reformasi di tubuh militer digaungkan. Padahal nyatanya, pemukulan para wartawan di Riau pekan lalu, bahkan sebelumnya korban mahasiswa yang tertikam sangkur di makassar masihlah terbaring di rumah sakit, hanya contoh kecil dari prilaku “koboi”.

Sejarah masa depan bangsa yang dibayangi bayang-bayang masa lalu, kini di tentukan di tangan 30 orang anggota panitia khusus (Pansus) Dewan Perwakilan Rakyat di Senayan Sejarah akan terus mencatat lagi... Jenderal itu kini ke Senayan..

Catatan:
-
Tips trik bila undang-undang ini berlaku, maka :
-
jangan sampai dianggap bodoh, karena “kebodohan adalah ancaman nasional.” (penjelasan pasal 17 ayat 2 huruf c nomor 18)
-
Bersikaplah seolah-olah orang kaya, karena “kemiskinan adalah ancaman nasional.” (penjelasan pasal 17 ayat 2 huruf c nomor 18)
-
Jangan sekali-kali melakukan kritik atau unjuk rasa, baik terhadap kebijakan pemerintah apalagi perusahaan asing yang ada di negeri ini, karena bisa dianggap “ancaman pembangunan nasional.” (pasal 16 ayat 2 huruf b, dan penjelasan pasal 17 ayat 2 huruf c nomor 18).
-
Begitupula dengan para wartawan, hati-hati menyiarkan berita, karena bisa dianggap “penghancuran nilai-nilai moral dan etika bangsa.” (penjelasan pasal 17 ayat 2 huruf c nomor 12)
-
Bila sudah dicap ancaman nasional maka waspadalah, karena aktivitasmu akan disadap, diperiksa, ditangkap, bahkan tindakan paksa. (penjelasan pasal 54 huruf e)
-
Waspadalah dalam keadaan apapun termasuk tertib sipil sekalipun (pasal 33 ayat 1) terhadap aparat militer karena dia adalah anggota tetap Dewan keamanan nasional hingga daerah (pasal 33 ayat 4)Tugasnya tidak melindungimu dari musuh negara, melainkan mencari rakyat yang dianggap ancaman bagi stabilitas negara (pasal 33 hingga pasal 42).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar