Selasa, 06 November 2012

RUU KAMNAS DAN RECHTSTAAT KITA


Oleh: Ratno Lukito 

Di tengah hiruk pikuk perpolitikan di Tanah Air akhir-akhir ini, publik diramaikan lagi dengan gunjingan media tentang pro kontra Rancangan Undang-Undang Keamanan Nasional (RUU Kamnas). Meski masih tahap awal perbincangan itu di DPR, reaksi fraksi-fraksi terhadap rancangan itu sudah sangat keras, disamping tentu saja diskusi dan perdebatan yang tidak kalah serunya di kantong-kantong organisasi sosial masyarakat. Secara umum publik menanggapi rancangan itu dengan nada negatif dan variatif meski substansinya sama, yaitu penolakan. 


Sumber Foto: Rakyat Merdeka Online
Pada umumnya publik menangkap rancangan itu sebagai suatu usaha untuk mensubstansiasikan denominasi militer di negeri ini setelah keberhasilan orde reformasi menyingkirkan dominasi politiknya semenjak awal kemerdekaan, dan terlebih pada masa lebih dari 30 tahun rezim Orde Baru. Sejatinya, di strata masyarakat tertentu kultur militeristik itu belum sepenuhnya mati, karena memang tidak mudah menghapuskan memori dan perilaku umum masyarakat kita yang sudah sekian lama dibentuk dengan warna militer. Meski mereka adalah masyarakat sipil, namun postulat dan weltanschaung nya tak terasa bersifat sangat militeristik. 

Lihat bagaimana sistem upacara, baris berbaris atau perploncoan, sekedar menyebut contoh, terus saja dihidup-hidupkan dalam berbagai lembaga pendidikan kita. Struktur organisasi yang parokialistik juga masih sangat jamak di berbagai himpunan masyarakat, meski kalangan menengah terdidik dari kalangan sipil terus mengalami peningkatan. Penolakan sebagian besar masyarakat kita terhadap RUU-Kamnas dengan demikian sejatinya lebih bernuansa politis, dan bukan kultur, yakni kecurigaan kalangan sipil akan kembalinya militer dalam sistem perpolitikan negara, meski dengan cover up isu keamanan nasional. 

Pasal-Pasal Bermasalah 
Tentu tidak sepenuhnya benar kecurigaan itu, setidaknya dalam versi pemerintah rancangan itu diperlukan kehadirannya untuk lebih mensinkronkan berbagai peraturan yang terlanjur terpencar ke dalam berbagai lex specialis yang terkesan berdiri sendiri-sendiri, yaitu UU Kepolisian (UU No. 2/2002), UU TNI (UU No. 34/2004), UU Intelijen (UU No. 17/2011) dan UU Penanganan Konflik Sosial (UU No. 7/2012). Idealnya memang RUU-Kamnas itu bukan untuk merumitkan tapi menyederhanakan manajemen keamanan nasional yang bagian¬bagiannya sudah diatur dalam berbagai undang-undang yang sudah terlebih dahulu terbentuk.  Bahkan, semestinya rancangan itu tidak dilepaskan dari konteks berbagai draf RUU yang terkait secara umum dengan reformasi sektor keamanan yang tengah digodok di parlemen, seperti RUU Rahasia Negara, Peradilan Militer, Tugas Perbantuan, Operasi Militer Selain Perang, Komponen Cadangan dan Komponen Pendukung Pertahanan Negara, Keamanan Dalam Negeri, dan lain-lainnya. 

Permasalahan sepertinya justru berkutat pada frame teleologi yang ingin dibangun oleh RUU Kamnas tersebut. Banyak kalangan yang mempertanyakan apa sesungguhnya yang dimaksud oleh RUU itu dengan keamanan (security) bila spektrum ancaman yang menjadi antitesa dari keamanan itu sungguh sangat luas, bisa menjerat siapapun dan apapun di negeri ini. Coba perhatikan Pasal 1 ayat 2 RUU itu: “Ancaman adalah setiap upaya, kegiatan, dan/atau kejadian, baik dari dalam negeri maupun luar negeri yang mengganggu dan mengancam keamanan individu warga negara, masyarakat, eksistensi bangsa dan negara, serta keberlangsungan pembangunan nasional.” Meski kemudian, dijelaskan di pasal berikutnya tentang empat macam keamanan: insani, publik, ke dalam dan ke luar. Pasal 16 nya menunjukkan ketidakterbatasan ancaman ini: “Spektrum ancaman dimulai dari ancaman paling lunak sampai dengan ancaman paling keras yang bersifat lokal, nasional, dan internasional dengan berbagai jenis dan bentuknya.”

Frame dan pendekatan keamanan yang state-driven menjadikan RUU itu sarat dengan pendekatan yang sangat top-down nantinya jika dipraktekkan di lapangan. Pasal 20, ayat 1-3, jelas memerankan lembaga-lembaga keamanan negara dari tingkat provinsi hingga kabupaten/kota. Meski ayat 4 nya menyebut peran elemen masyarakat, tapi itu masih sangat kabur. Bahkan terlebih lagi, peran aktif intelijen negara sebagai penyelenggara keamanan nasional disebutkan secara khusus di pasal 22, yang jelas menimbulkan kekhawatiran publik terhadap redominasi kekuatan militer dalam proses pertahanan keamanan rakyat semesta (hankamrata). Keamanan yang state-centrist itu diperkuat dengan bentukan lembaga baru, Dewan Keamanan Nasional, yang diketuai secara langsung oleh Presiden (Pasal 24). 

Strata Rechtstaat 
Tidak mudah memang merumuskan sistem keamanan nasional itu, apalagi di negeri dengan capaian demokratisasi yang masih belum begitu matang dan pembangunan rule of law yang tertatih-tatih seperti Indonesia ini. Namun sauh tidaklah harus dilipat lagi dan diputar jarum jam kita ke arah belakang. Indonesia adalah salah satu negara dengan record demokrasi terbaik di Asia Tenggara, meski hal itu tidak diikuti dengan angka kemakmuran rakyatnya yang berbanding lurus. 

Secara konsisten, Indonesia terus melakukan perbaikan pada sisi kehidupan sosial politiknya. Terutama semenjak reformasi, pengamalan demokrasi dan konstitusionalisme terus ditingkatkan mutunya seiring dengan implementasi ajaran rechtstaat yang semakin maju pula. Secara teoritik, kita sudah mampu meningkatkan pengalaman rechstaat itu dari rechtstaat sempit menuju ke tingkat kedua, yaitu formeel rechtstaat, meski tampaknya masih jauh untuk bisa mencapai materieel rechtstaat

Pada tingkatan terdangkal, kehidupan rechtstaat itu ditandai paling utama pada kecenderungan negara untuk menjadi “penjaga malam” bagi para warganya. Meski prinsip perlindungan hak asasi manusia dan pembagian kekuasaan pemerintahan sudah diterapkan dengan cukup baik, negara masih mendominasi fungsi kemasyarakatan sehingga ketergantungan rakyat terhadap negara masih cukup tinggi. Ketergantungan ini semakin luntur ketika negara menganut strata kedua, rechtstaat formal. Ketergantungan rakyat pada negara dalam berbagai segi kehidupan sudah bisa dikurangi kualitasnya, karenanya penciptaan hukum lebih difokuskan pada keseimbangan antara rakyat dengan negara, terefleksi utamanya melalui penyelenggaraan peradilan administrasi. Pada tingkatan tertinggi kehidupan rechtstaat itu dialirkan untuk menciptakan semaksimalnya kemakmuran rakyat, dimana peran negara dikurangi sejalan dengan independensi rakyat yang semakin kuat. Spektrumnya karena itu bergantung dari sejauh mana ketergantungan rakyat itu terhadap peran negaranya. Semakin tinggi tingkatan rechtstaat ditandai dengan semakin mengecilnya dominasi negara dalam perikehidupan rakyatnya. 

Disinilah letak signifikansi mereview secara seksama draf RUU-Kamnas yang sudah diajukan kembali oleh pemerintah kepada DPR. Pencapaian rechtstaat kita yang minimal sudah pada level kedua tidak perlu diputar ke belakang kembali ke level pertama. Prinsip “the best government is the least governing” bagusnya diterapkan dalam pembangunan sistem keamanan nasional negeri kita sehingga berbicara tentang keamanan tidak harus diidentikkan dengan penguatan peran militer dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Itu tentu jika kita tidak ingin dikatakan sebagai bangsa yang sedang mengalami kemunduran. 

Ratno Lukito: dosen, tinggal di Yogyakarta. 

Sumber Tulisan: http://id.scribd.com/doc/112291432/Artikel-Ru-u-Kamna-s#

Tidak ada komentar:

Posting Komentar