Sabtu, 11 Januari 2014

Yang Menggetarkan Selat Malaya

1400an...

Kala itu, Selat Malaya, perairan yang ramai di kunjungi para pedagang dari berbagai penjuru dunia. Selat yang diapit oleh semenanjung Malaya dan semenanjung Andalas, yang terletak di barat Nusantara. Nampaklah ratusan kapal bermunculan dari ujung laut. Ketika angin mulai membawanya mendekat, terlihatlah ciri khas kapal-kapal itu yang beda dengan kapal lainnya yang senantiasa berlalu lalang di selat itu. Namun iringan kapal itu seakan tak asing lagi, para pedagang yang berlabuh di Malaka sudah terbiasa dengan kedatangannya. 

Namun kedatangan Kapal-kapal itu kali ini dalam jumlah yang besar, 200 kapal yang siap berlabuh di Malaka. Mereka menyebutnya dengan dialeq yang nyaman di lidah masing-masing, "Karaeng Samerluka", "Karaeng Samerloeka", "Karaeng Same Loe'ka ri Sero", "Karaeng Same ri liukang", adalah orang yang sama dengan Karaeng Loe ri Sero. Namanya semakin jaya di sepanjang perairan nusantara, dia lah pemimpin perkasa dari timur, butta mangkasara[1]

Kapal-kapalnya telah kembali dari perang menaklukkan kerajaan Siam. Kerajaan yang kekuasaannya membentang hingga di Malaka. Walaupun Malaka telah dimerdekakannya dari kerajaan Siam, namun penguasa lokal di Malaka masih berhutang kepadanya. Baik atas perdagangan yang terjalin sebelumnya antara penguasa lokal di Malaka maupun atas jasanya menaklukkan Siam, hingga Malaka lepas dari bayang-bayang kekuasaan kerajaan Siam. 

Hari itu, Karaeng Samerluka telah berlabuh di Malaka bersama kapal-kapal pengikutnya. Kapal-kapalnya yang telah dipersenjatai dengan meriam dalam mengarungi lautan. Setibanya di Malaka, apa yang diharapkan Loe Sero tidak didapatkannya. Akhirnya Karaeng loe Sero dengan menggunakan 200 kapal perang, menyerang dan menduduki semenanjung Malaya. 

Setelah tiga bulan lamanya di Malaka, datanglah utusan kerajaan Malaka, yang tak lain adalah Laksamana Hang Tuah. Karaeng Samerluka mengenal siapa Laksama Hang Tuah. Tak disangkanya bila Hang Tuah telah menjadi laksamana perang di Malaka. Hang Tuah berdarah sama dengan dirinya, dilahirkan di tanah yang sama di semenanjung timur nusantara, dari tanah Makassar. Demi harkat dan martabat, “Siri’ na Passe” yang merupakan jiwa yang patut saling dikedepankan, yang sama dijunjung tinggi, maka Loe Sero pun meninggalkan Malaka. Layar pun kembali dibentangkan, siap membawa kapal-kapalnya berlayar ke tengah samudera kembali. 

Pelayarannya kemudian menuju semenanjung Andalas. Peperangan tak terhindarkan lagi, namun armadanya sudah teruji, hingga perlawanan-perlawanan di pesisir semanjung Andalas dapat ditaklukkannya. Kerajaan Pasai yang memiliki kekuasaan yang luas membentang dari utara di semenanjung Andalas, tidak tinggal diam. Kerajaan Pasai pun mengerahkan armadanya dibawah kendali Raja Kanayan. 

Perang pun meletus lagi di teluk Perlih. Perlawanan yang gigih pun diperlihatkan oleh Raja Kanayan dan armada lautnya. Hingga kemudian perang berakhir dengan perjanjian damai. Karaeng Samerluka bersama armada lautnya meninggalkan semenanjung Andalas. 

Berlayar mengarungi lautan menuju pesisir utara semenanjung Jawa. Dari tanah Jawa sampailah kabar kepadanya, bila saudaranya yang menjadi Raja Gowa telah meninggal dunia. 


Teringatnya akan perselisihan di masa lalu dengan kakaknya yang menjadi Raja Gowa. Dahulu tatkala dirinya menetap di Sero bersama istri dan anaknya. Perselisihan dengan saudaranya hingga kemudian memutuskan untuk pergi merantau, mengarungi lautan. Kini anaknya telah tumbuh menjadi pemuda yang gagah perkasa. Telah turut bersamanya mengenyam garamnya lautan.

Diingatnya pula akan wasiat orang tuanya, Karaeng Tunatangka Lopi di penghujung usianya, yang telah membagi gallarang-gallarang yang menjadi miliknya maupun kepada saudaranya. Kepada dirinya, menjadi Karaeng Loe Sero yang meliputi Saumata, Panampu, Moncongloe, dan Parangloe. Sementara saudaranya, Batara mewarisi tahta kerajaan Gowa dan mewarisi daerah gallarang[2] yang meliputi Paccellekang, Pattallasang, Tombolo, Mangasa, dan bontomanaiq yang berada di timur maupun yang di barat. 

Dipikirnyalah lagi, mungkin sudah saatnya kembali ke tanah kelahirannya. bukan hanya bagi dirinya, tetapi demi anak-anaknya yang harus mengenal tanah tumpah darahnya.

Waktu kemudian menjawab, Karaeng Loe ri Sero balik ke tanah makassar. Bersama anaknya yang sudah tumbuh menjadi pemuda yang perkasa dan penuh pengalaman, membangun kerajaan di sebelah utara kerajaan Gowa, sebelah selatan kerajaan Siang. Kerajaan Tallo, berdiri dan berkembang menjadi kerajaan maritim yang kelak berjaya disamping kerajaan Gowa.


________________
[1] tanah makassar 
[2] Daerah distrik yang dipimpin oleh seorang Karaeng

Sumber Kajian dan bacaan:

William P. Cumming. A Chain of Kings : The Makassarese Chronicles of Gowa and Talloq. Leiden, Netherlands : KITLV Press, 2007.

Abdurrazak Daeng Patunru. Sejarah Gowa. Ujungpadang: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan, 1993.

Abdurrazak Daeng Patunru. Bingkisan Patunru: Sejarah Lokal Sulawesi Selatan. Makassar: Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin, 2004.

Andi Oddang. Kajian Sejarah. http://andioddang.blogspot.com/p/kajian-sejarah-tanah-ogi.html

Raja Ali Haji Ibn Ahmad. The Precious Gift (Tuhfat al-Nafis). Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1982 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar