Kamis, 09 Juli 2009

BENARKAH KARAKTERISTIK MASYARAKAT INDONESIA LEPAS DARI PRIMORDIALISME?

“Statemen Alfian Mallarangeng menjadi Realistis”

Pasangan JK-Wiranto adalah simbol pasangan satu-satunya yang berasal dari luar jawa (minoritas), Sedangkan SBY-Budiono maupun Mega-Prabowo merupakan simbol Jawa (mayoritas) pada pilpres 2009. Dalam tiga kali acara debat kandidat Presiden yang diadakan oleh KPU, maka siapa pun mengakui (kecuali tim sukses yg telah berpihak) kalau JK (Jusuf Kalla) unggul dalam tiap acara tersebut. Elektabilitas JK terus naik. Namun berbanding luruskah dengan perolehan suara 8 juli 2009?
Hasil pilpres yang dilaksanakan 8 juli 2009 memberikan berbagai analisis terhadap hasil suara yang dihasilkan. Pasangan no.urut 2 (SBY-Budiono) hampir unggul di semua propinsi dengan rata-rata diatas 50 %, kecuali diantaranya Sulsel dimana JK unggul tipis diatas 50% dan SBY-Budiono diatas angka 40%.


Hasil pilpres ini oleh berbagai pengamat yang muncul di stasiun-stasiun TV memberikan analisis bahwa hasil pilpres telah menggambarkan karakteristik masyarakat indonesia sudah lebih rasional, terbuka dan tidak lagi berdasarkan kesukuan (primordialisme).

Analisis tersebut bagi saya paradoks, justru perolehan suara terbanyak hasil pilpres berbanding lurus dengan jumlah penduduk suku yang dominan (mayoritas) di Indonesia. Artinya, Indonesia yang mayoritas penduduknya diatas 60% suku atau etnik dari Jawa memberikan hasil suaranya pada pilpres 8 juli 2009 sesuai dengan karakteristik suku atau etnik yang diwakili pasangan presiden yang dipilih.

Kesimpulannya saat ini, pertama, bahwa Suku-suku diluar Jawa lebih rasional, tidak primordial dan terbuka. Hal tersebut melihat hasil perolehan suara yang didapat oleh ketiga pasangan capres. Sulsel misalnya, hampir 50% perolehan suara SBY-Budiono. Dibagian Timur lainnya, seperti Papua, Maluku dan kalimantan, SBY-Budiono diatas 50%. Dibagian barat Jawa juga demikian, bahkan mencapai rata-rata diatas 70%.

Kesimpulan kedua, bahwa Orang Jawa secara mayoritas masih tertutup dan belum terbuka terhadap kandidat suku dari luar Jawa. Walaupun dukungan kepada pasangan JK dari berbagai tokoh, elemen dan tim sukses dari Jawa, telah memberikan gambaran betapa bebasnya masyarakat Indonesia (:jawa) dari ikatan kesukuan dalam memberikan dukungan. Namun ternyata faktanya sebaliknya, dukungan tidak bermakna apa-apa dibandingkan suara yang diberikan. Hal tersebut berdasarkan hasil perolehan suara didataran Jawa, pasangan JK-Wiranto hanya memperoleh suara dibawah angka 17%, itupun dicurigai suara tersebut masih sebagian besar dari orang-orang timur (sulsel) yang berada di dataran Jawa.

Berdasarkan hasil pilpres yang memperlihatkan bahwa JK-Wiranto (no.3) sebagai wakil suku atau etnik dari luar Jawa dan SBY-Budiono sebagai wakil Jawa, memperlihatkan bahwa semua daerah propinsi di daerah Jawa (populasi suku Jawa) belum bisa menerima kandidat presiden yang berasal dari suku luar jawa. Angka yang diperlihatkan cukup signifikan rata-rata 60% perolehan suara SBY-Budiono, sedangkan JK-Wiranto dibawah angka 17%, selebihnya oleh pasangan Mega-Prabowo diatas 20%.

Bagaimana dengan BJ Habibie pernah menjadi Presiden, bukankah beliau berasal dari luar jawa? Habibie hanyalah orang yang beruntung pernah menjadi Presiden RI karena posisinya sebagai wapres dari Soeharto dimana dengan mundurnya Soeharto secara otomatis dia yang menggantikan. Namun apa yang terjadi selanjutnya? Berbagai demo di Jawa muncul waktu itu, mendesak Habibie sebagai presiden (setahun) untuk melaksanakan pemilu secepatnya alasan yang dimunculkan adalah bahwa Habibie bagian dari Orba (apologis terhadap primordialisme jawa), dan ternyata kemudian dia tidak bisa maju menjadi calon karena laporan pertanggungjawaban sebagai presiden ditolak oleh MPR (representasi Jawa).

Kesimpulan ketiga, karakterisitik Pemilih 2009 hingga saat ini masih didominansi oleh faktor primordial suku Jawa sebagai penduduk mayoritas Indonesia. Hasil Pilpres 8 juli 2009 yang diberikan kepada masing-masing kandidat berbanding lurus dengan representase suara Jawa dan luar Jawa.

Gambaran ini mengingatkan statemen Alfian Mallarangeng beberapa hari lalu pada saat kampanyenya 1 juli di makassar yang membuat marah para elite Sulawesi selatan. Alfian beranggapan bahwa belum saatnya orang-orang Sulsel memimpin negara ini. Kalau statemen tersebut bukan bermaksud merendahkan kapasitas dan kapabilitas orang-orang Sulsel sebagaimana tanggapannya, maka Alfian menyembunyikan alasan sebenarnya dengan hendak berkata bahwa karakteristik Suku dengan populasi mayoritas yang menguasai diatas 60% penduduknya di Indonesia belum bisa menerima pasangan kandidat dari luar Jawa, primordialisme dan hegemoni Jawa masih kuat, sehingga mustahil orang luar jawa bisa memimpin negeri ini. Dengan alasan ini maka pernyataan Alfian Mallarangeng cukup beralasan dan menjadi realistis.

Pertanyaan yang saya ajukan yang menjadi judul tulisan ini, maka bagi saya, berdasarkan perolehan Pilpres 2009, tentu jawabannya belum dengan melihat populasi suku mayoritas di Indonesia sebagaimana telah saya uraikan diatas. Pantas saja dalam beberapa hari sebelumnya SBY sempat melontarkan pernyataan tentang hal irasional atau mistik, dengan mengatakan dia kena sihir? Bukankah ini menggambarkan betapa irasionalnya Indonesia (baca : Jawa)

Apakah realitas tersebut ancaman bagi NKRI? Justru realitas tersebut memperlihatkan bahwa ancaman disintegrasi sudah tidak ada, atau kata lain stabilitas bangsa dan negara ini tetap terjaga, melihat betapa kuatnya hegemoni Jawa terhadap luar jawa. Karena sekali lagi, karakteristik suku-suku atau etnik luar Jawa lebih terbuka dan rasional, artinya, ancaman disintegrasi itu sudah hilang atau mustahil kalau alasannya kesukuan. Lain halnya kalau suku Jawa yang mengancam ingin merombak NKRI mengingat Indonesia sangat ditentukan oleh hegemoni suku tersebut, namun ini konyol dan tidak menguntungkan bagi Jawa tentunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar