Minggu, 25 Oktober 2009

AGENDA REFORMASI MILITER (TNI) YANG TERSENDAT

Menyorot RUU Kamnas versi Dephan

Konsepsi universal, supremasi sipil mengharuskan setiap negara demokrasi untuk menciptakan suatu sistem ketatanegaraan yang tidak memungkinkan aktor militer untuk mengambil suatu inisiatif tindakan represif tanpa persetujuan institusi sipil.

Sebagai bagian dari negara demokrasi maka prinsip-prinsip universal menjadi pedoman dalam kerangka membangun supremasi sipil. UU TNI sebagai produk reformasi telah berhasil menegaskan bahwa TNI adalah alat negara di bidang pertahanan yang dalam menjalankan tugasnya berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara (Pasal 2, 3 dan 5).
Aktivasi TNI harus melalui suatu keputusan politik pemerintah (presiden) dengan persetujuan DPR (seperti ditegaskan dalam Pasal 17). Dalam keadaan memaksa, Presiden dapat langsung mengerahkan kekuatan TNI (dengan ketentuan, dalam waktu 2 x 24 jam Presiden harus melaporkan kepada DPR). Jika DPR tidak menyetujui pengerahan itu, Presiden harus menghentikannya (tertuang dalam Pasal 18).

Paling mendasar adalah bahwa penjelasan ini menempatkan pemerintah –bukan TNI – sebagai penanggungjawab pemberdayaan wilayah pertahanan. Dengan ketentuan ini, UU tentang TNI ini pada dasarnya telah menegaskan bahwa kewenangan untuk mempertahankan, mengembangkan, atau mengubah struktur teritorial tidak di tangan TNI, tetapi di tangan pemerintah. Dengan demikian, secara legal dan politis, UU tentang TNI berhasil menciptakan supremasi otoritas politik yang demokratis atas institusi TNI.

Namun RUU Keamanan Nasional yang disusun Departemen Pertahanan, tidak saja melabrak berbagai UU yang telah berjalan dalam kerangka supremasi sipil, juga tidak mengindahkan prinsip dan hukum internasional. RUU Kamnas merupakan langkah mundur dari gerakan reformasi 1998. TNI dirancang kembali untuk terlibat dalam ketertiban masyarakat dalam negeri.

Ada 3 permasalahan yang mendasar dalam RUU Kamnas. Permasalahan pertama, yaitu keterlibatan TNI dalam ranah sipil, seperti ketertiban masyarakat, demonstrasi, dll sebagaimana yang dimuat dalam RUU Kamnas (: versi Dephan) merupakan pelanggaran HAM, pelanggaran hak-hak sipil. tugas militer/TNI adalah perang, menghadapi musuh Negara. Ketertiban masyarakat, demontrasi bahkan terorisme sekalipun merupakan kejahatan tingkat tinggi tetaplah merupakan masalah crime, ini persoalan para penegak hukum kita (Crime Justice System) untuk menanganinya.

Permasalahan kedua, Penggelaran operasional TNI pada operasi militer selain perang, selaras dengan norma universal hanya dimungkinkan pada empat kategori, yaitu untuk bantuan kemanusiaan (humanitarian help); keadaan bencana (dengan catatan TNI memiliki idle capacity); bantuan kepada Polri (dengan catatan Polri menyatakan sudah tidak sanggup atau tidak mampu lagi menangani suatu masalah keamanan yang dimaksud); keempat, untuk perbantuan perdamaian dunia. Aktivasi dan deaktivasi empat kategori hal ini harus dengan keputusan otoritas politik (bukan oleh TNI);

Terhadap tugas-tugas TNI selain perang inipun telah ditegaskan dalam UU TNI yaitu hanya bisa dilakukan atas dasar kebijakan dan keputusan politik negara (Pasal 7 ayat (3)). Jadi tidak serta merta para petinggi militer dapat melakukan operasi di suatu wilayah dalam negeri.

Permasalahan yang timbul adalah penggelaran operasional TNI tanpa otoritas sipil sebagaimana dalam pasal-pasal RUU Kamnas. Munculnya persepsi bahwa TNI dapat memutuskan pengerahan militer untuk menanggulangi masalah keamanan di daerah ketika polisi dianggap tidak mampu, begitupun Pemerintah daerah dapat mengerahkan bantuan operasi militer di daerahnya tanpa otoritas pusat. Di mata internasional hal ini adalah pelanggaran HAM (melihat objek sasaran militer adalah masyarakat sipil).

Tidak boleh TNI maupun Pemerintah daerah dapat secara otomatis memutuskan bantuan operasi militer jika muncul masalah keamanan yang tidak dapat diatasi oleh aparat kepolisian di daerah. Bahkan Kepolisian daerah tidak boleh meminta bantuan secara langsung kepada militer disuatu daerah wilayahnya.

Harus ditegaskan bahwa dalam keadaan apa pun TNI hanya bisa dikerahkan untuk suatu operasi militer oleh keputusan politik pemerintah pusat, kecuali untuk suatu keadaan darurat bencana. Ini merupakan prinsip supremasi sipil. Institusi demokrasi tidak membenarkan hubungan dua institusi yang sejajar saling meminta bantuan tanpa keputusan otoritas politik yang lebih tinggi.

Sebagai catatan oleh Cornelis Lay (2009), pelibatan militer dalam penanggulangannya hanya dapat dilakukan dalam kondisi: (a) polisi terbukti – yang membutuhkan analisis dan evaluasi – gagal atau tidak lagi mampu menjalankan fungsinya; (b) ada permintaan dari polisi kepada otoritas politik; (c) adanya keputusan gelar pasukan militer oleh presiden dengan RoE (rules of engagement) yang jelas dan ketat, termasuk kerangka waktu dan anggaran; (d) sekalipun demikian, pelibatan militer tidak bisa dan tidak boleh mengorbankan kapasitasnya dalam menjalankan fungsi perangnya. Pemanfaatan hanya diperbolehkan terbatas pada idle capacity yang dimiliki militer.

Permasalahan ketiga dalam terkait materi RUU Kamnas, adalah terkait pelibatan TNI dengan berbagai penanganan ancaman, dimana tidak mengindahkan supremasi sipil.

Sebagaimana telah dijelaskan oleh Tim Propatria (Dinamika Keamanan Indonesia dalam buku "Reformasi Sistem Keamanan Indonesia", 2004), bahwa ancaman merupakan suatu konsep multidimensional yang memiliki empat dimensi utama: militer‐nonmiliter; konvensional‐nonkonvensional; langsung—tidaklangsung; dan, eksternal‐internal. Walaupun ancaman bersifat multidimensional dan secara teoretis memiliki 16 tipologi (perpaduan empat dimensi diatas), namun tidak berarti TNI harus mengantisipasi seluruh tipologi ancaman. TNI yang profesional hanya akan menangani tipologi ancaman yang menjadi spesialisasinya.

Tipologi ancaman yang harus diantisipasi oleh TNI adalah: (1) ancaman yang bersifat militer; (2) berasal dari lingkungan eksternal; (3) menggunakan strategi-strategi militer konvensional; dan, (4) langsung mengancam integritas teritorial Indonesia. TNI juga dapat dilibatkan untuk menangani tipologi ancaman lain seperti, ancaman militer‐ internal‐konvensional‐langsung, ancaman militer‐eksternal‐nonkonvensional‐langsung, ancaman nonmiliter‐eksternal‐non konvensional‐langsung, dan ancaman nonmiliter‐ internal‐non konvensional‐langsung.

Ancaman militer yang harus ditangani oleh TNI adalah ancaman yang menggunakan kekuatan bersenjata yang terorganisasi yang dinilai mempunyai kemampuan yang membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah negara, dan keselamatan segenap bangsa. Untuk ancaman‐ancaman nonmiliter dan tidak langsung, TNI dikerahkan dalam tugas perbantuan kepada institusi lain seperti Polri, pemerintah, dan/atau intelijen strategis dengan keputusan otoritas politik.

Agenda politik utama dari reformasi sektor keamanan adalah inisiasi visi politik dari transformasi militer, yaitu pembentukan militer yang tangguh dan profesional dalam suatu tatanan negara yang demokratis. Bukan menjebloskan TNI ke dalam Pelanggar HAM, mengingat Indonesia sudah menjadi bagian dari Dewan HAM PBB.

Ethos AHM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar