Senin, 29 Oktober 2012

Tolak RUU Kamnas


RUU ini yang berisi 55 pasal (versi 23 Oktober 2012) ternyata berisi tentang bagaimana peran militer (TNI/BIN) dalam mengatasi berbagai ancaman yang meliputi jenis, bentuk, spektrum dan sasaran ancaman yang dihadirkan secara luas dan abstrak dalam RUU ini, sehingga mampu ditafsirkan secara subjektif sesuai keinginan penguasa/militer.

Semua bagian dalam RUU Kamnas ini sebenarnya telah diatur oleh berbagai peraturan perundang-undangan, baik secara sektoral maupun terhadap penanganan berbagai tindak kejahatan, mulai dari tertib sipil hingga darurat perang.

Ada beberapa hal kampanye menyesatkan yang dilakukan oleh para pengusung RUU Kamnas, karena RUU ini berisikan:


Pertama, RUU Kamnas akan mendegradasi peran Polri sebagaimana telah diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, dengan melibatkan dan memperlebar peranan militer dalam keamanan dalam negeri.
Kedua, sarat akan pelanggaran HAM. Hal ini dapat dilihat pada pelibatan unsur masyarakat menjadi paramiliter dalam forum keamanan daerah dalam RUU ini. Selain itu, berangkat dari sejarah masa lalu bahwa berbagai tindakan militer telah menimbulkan berbagai pelanggaran HAM.
Ketiga, RUU Kamnas bukan hanya mengatur kebijakan strategis, tetapi hingga operasional dan taktis.

Dengan melihat isi RUU Kamnas ini, maka yang ingin diatur bukanlah keamanan nasional, Tapi bagaimana melibatkan aktor militer dalam penyelenggaraan keamanan dalam negeri, dari unsur pendukung menjadi unsur utama dan pemegang kewenangan dan kendali di daerah (lihat pasal 48).

RUU ini akan membentuk Konsep Dewan Keamanan Nasional dengan memperlebar peranan Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) TNI dengan memvalidasi Sekjen Wantannas menjadi Sekjen Dewan Keamanan Nasional. Sehingga Dewan ini tidak hanya melulu mengurus ancaman militer, tetapi juga dapat diperankan dalam mengurusi segala tetek bengek urusan kehidupan masyarakat (Rakyat).    

Dengan melebur Wantannas ke dalam Dewan Keamanan Nasional, maupun seluruh penyelenggaraan keamanan yang selalu melibatkan institusi militer, akibatnya telah mengaburkan batas antara domain keamanan dan domain pertahanan. Hal ini akan memperlebar grey area dalam menegakkan supremasi sipil. Akibatnya, RUU ini menjadi alat legitimasi peran militer dalam wilayah penegakan hukum.

Sehingga aktivasi militer ini dapat dilakukannya dengan 2 cara, yaitu sebagai unsur anggota tetap Forum keamanan Daerah, atau dapat bertindak operasional sebagai pemegang kewenangan dan kendali daerah.

Yang cukup merisaukan adalah penanggulangan ancaman pada mulai dari situasi tertib  (tertib sipil), darurat sipil, hingga darurat militer dan perang, dengan melibatkan institusi militer ke dalam setiap tahapan tersebut. Seharusnya pelibatan institusi militer hanya pada darurat militer, bencana dan perang. Dalam darurat sipil dapat diperbantukan oleh permintaan instansi utama terkait (Polri) dengan pertimbangan DPR. Sedangkan dalam keadaan tertib sipil merupakan kewenangan sepenuhnya institusi sipil.

Dalam draft RUU Kamnas yang diajukan pada tanggal 23 Oktober 2012, yang telah memangkas 5 (lima) pasal dari draft sebelumnya, sehingga menjadi 55 pasal. Namun demikian, RUU Kamnas ini telah keliru sejak penyusunannya, akibatnya seluruh pasal yang dimuat dalam RUU ini telah melabrak supremasi sipil.

Mengapa RUU Kamnas Harus Ditolak walaupun telah memangkas 5 (lima pasal). Karena seluruh pasal bermasalah. RUU ini disusun oleh Kementerian Pertahanan cq Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) TNI, yang mengakibatkan seluruh perspektif keamanan dalam RUU ini menjadikan domain utama dalam penyelenggara keamanan adalah militer, jelaslah ini sangat bertentangan dengan konsep keamanan dan pertahanan negara yang telah ditegaskan dalam UUD 1945.

Pasal 4 point c: Fungsi penyelenggaraan keamanan nasional adalah Memelihara dan meningkatkan stabilitas keamanan nasional melalui tahapan pencegahan dini, peringatan dini, penindakan dini, penanggulangan, dan pemulihan;

Penjelasan Pasal 4 point c: Yang dimaksud dengan “pencegahan dini” merupakan langkah dan tindakan untuk mencegah terjadinya potensi ancaman oleh instansi pemerintah terkait agar tidak berkembang menjadi ancaman nyata atau memperkecil dampak akibat dari ancaman apabila tetap terjadi;
Yang dimaksud dengan “peringatan dini” merupakan tindakan peringatan tentang adanya potensi ancaman terhadap keamanan nasional berdasarkan informasi yang akurat, komprehensif, dan tepat waktu kepada instansi pemerintah terkait agar dapat diantisipasi/ditindaklanjuti seawal mungkin;
Yang dimaksud dengan “penindakan dini” merupakan langkah dan tindakan agar potensi ancaman yang timbul dapat ditangani sejak awal dengan upaya yang tepat, cepat dan terukur sesuai akar dan karakteristik ancaman oleh instansi pemerintah terkait beserta instansi pendukung untuk memperkecil dampak akibat ancaman yang terjadi;
Yang dimaksud dengan “penanggulangan” merupakan langkah dan tindakan penanganan yang tepat, cepat, dan terukur oleh instansi pemerintah terkait beserta instansi pendukung dan berbagai elemen masyarakat apabila penindakan dini belum berhasil dan spektrum ancaman semakin meluas;

Pasal 16: Spektrum ancaman dimulai dari ancaman paling lunak sampai dengan ancaman paling keras yang bersifat lokal, nasional, dan internasional dengan berbagai jenis dan bentuknya.

Penjelasan Pasal 16: Yang dimaksud dengan ancaman paling lunak sampai dengan ancaman paling keras bersifat lokal sampai dengan nasional dalam ayat ini adalah dampak dari bentuk dan jenis ancaman sesuai dengan eskalasi mulai dari keadaan aman dan tertib meningkat menjadi keresahan sosial, kerusuhan sosial, gawat sampai dengan keadaan darurat yang meluas dan berkembang mulai dari lokal (daerah) sampai dengan kondisi keadaan secara nasional.

Pasal 17 ayat (1): Ancaman keamanan nasional di segala aspek kehidupan dikelompokkan ke dalam jenis ancaman yang terdiri atas:
a. ancaman militer; b. ancaman bersenjata; c. ancaman tidak bersenjata.”

Pasal 17 ayat (2) : “Masing-masing jenis ancaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari berbagai bentuk ancaman.

Dalam Penjelasan Pasal 17 ayat (2) disebutkan: “Bentuk ancaman tidak bersenjata merupakan ancaman terhadap keamanan public dan keamanan insani, antara lain; pelanggaran wilayah perbatasan, konflik horizontal dan komunal, anarkisme, persaingan perdagangan yang tidak sehat (dumping, pemalsu, pembanjak produk) krisis moneter, bencana alam, bencana non alam dan bencana sosial, kejahatan transnasional (cyber netic, narkoba, ekonomi dan pasar gelap), ideology radikalisme, penghancuran nilai-nilai moral dan etika bangsa, kelangkaan pangan dan air, penyalahgunaan kimia, biologi, radioaktif, nuklir (pertanian, peternakan, perikanan), pengerusakan lingkungan (hutan, air, degradasi fungsi lahan), kelangkaan energi, pandemic (HIV, flu burung, flu babi), sosial (kemiskinan, ketidakadilan, kebodohan, ketidaktaatan hukum, korupsi dan lain-lain).”

Konsekuensi dari pasal 4 point c dan 17 ayat (2):
dicantumkannya kata “Sosial”, “dan lain-lain,” menjadi sangat luas cakupannya. Bila demikian Orang bodoh, orang miskin, dan “orang lain-lain,” merupakan bentuk ancaman yang dapat ditindak secara represif sebagaimana disebutkan dalam pasal 4 point c.

Pasal 17 ayat (3) : Bentuk ancaman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat bersifat potensial atau aktual.

Penjelasan Pasal 17 ayat (3) :Yang dimaksud dengan “bentuk ancaman potensial adalah ancaman yang mungkin terjadi namun belum pernah terjadi atau sangat jarang terjadi dan diperkirakan dari tingkat signifikansi dampak yang ditimbulkan apabila benar-benar terjadi akan berakibat sangat fatal dan luas terhadap eksistensi dan keselamatan bangsa dan negara.

Konsekuensi dari pasal 17 ayat (3):
Pasal ini memperlihatkan bahwa Mereka yang memiliki niat, pikiran, rencana, ide kreatif atau baru bila dianggap memiliki potensi ancaman sekalipun belum terjadi, maka dapat dilakukan tindakan dini (pencegahan, peringatan dan penindakan dini) sebagai disebutkan dalam pasal 4 point c.

Pasal 4, 16 dan 17 memberikan legitimasi kepada unsur keamanan nasional dan daerah untuk melakukan tindakan represif kepada individu maupun kelompok yang dianggap “berpotensi” mengganggu stabilitas (tertib sipil). Kedua pasal ini menjadi dasar hukum tindakan-tindakan militer (unsur keamanan nasional dan daerah) yang dalam pasal-pasal selanjutnya dalam RUU ini mempertegas peran militer.

Tataran Kewenangan Komando dan Kendali
Pasal 48 ayat (1) :  Komando dan kendali penyelenggaraan keamanan nasional:
a.  Komando dan kendali tingkat nasional di tangan Presiden
b. Komando dan kendali tingkat strategi di tangan pemimpin Kementerian, Panglima Tentara Nasional Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia,  Jaksa Agung, Kepala Badan Intelejen Negara, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan pemimpin Lembaga Pemerintah Non Kementerian;
c. Komando dan kendali tingkat operasional di tangan Panglima/Komandan Satuan Gabungan Terpadu; dan
d. Komando dan kendali tingkat taktis di tangan Komandan Satuan Taktis.

Konsekuensi dari pasal 48
Dalam point c dan d secara tegas disebutkan bahwa kewenangan komando dan kendali dalam penyelenggaraaan operasional Keamanan nasional di daerah (Provinsi/Kabupaten/ Kota) dilaksanakan oleh militer (cat: hanya institusi militer yang memiliki jabatan “Komandan” sebagaimana disebutkan dalam pasal ini). Padahal harusnya sesuai perundang-undangan yang berlaku bahwa penyelenggaraan keamanan merupakan domain utama institusi sipil yaitu Polri. Harusnya Militer hanya dapat terlibat bila diminta bantuan (perbantuan) kepada institusi yang bertanggungjawab. Sangat jelas bahwa Militer ingin kembali perannya sebagaimana di masa orde baru, yang dapat melihat rakyat Indonesia sebagai musuh negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar