RUU ini yang
berisi 55 pasal (versi 23 Oktober 2012) ternyata berisi tentang bagaimana peran
militer (TNI/BIN) dalam mengatasi berbagai ancaman yang meliputi jenis, bentuk,
spektrum dan sasaran ancaman yang dihadirkan secara luas dan abstrak dalam RUU
ini, sehingga mampu ditafsirkan secara subjektif sesuai keinginan penguasa/militer.
Semua bagian
dalam RUU Kamnas ini sebenarnya telah diatur oleh berbagai peraturan
perundang-undangan, baik secara sektoral maupun terhadap penanganan berbagai tindak
kejahatan, mulai dari tertib sipil hingga darurat perang.
Ada beberapa
hal kampanye menyesatkan yang dilakukan oleh para pengusung RUU Kamnas, karena RUU
ini berisikan:
Pertama, RUU Kamnas akan mendegradasi peran Polri sebagaimana
telah diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri, dengan melibatkan dan
memperlebar peranan militer dalam keamanan dalam negeri.
Kedua, sarat akan pelanggaran HAM. Hal ini dapat dilihat
pada pelibatan unsur masyarakat menjadi paramiliter dalam forum keamanan daerah
dalam RUU ini. Selain itu, berangkat dari sejarah masa lalu bahwa berbagai
tindakan militer telah menimbulkan berbagai pelanggaran HAM.
Ketiga, RUU Kamnas bukan hanya mengatur kebijakan strategis,
tetapi hingga operasional dan taktis.
Dengan
melihat isi RUU Kamnas ini, maka yang ingin diatur bukanlah keamanan nasional,
Tapi bagaimana melibatkan aktor militer dalam penyelenggaraan keamanan dalam
negeri, dari unsur pendukung menjadi unsur utama dan pemegang kewenangan dan kendali
di daerah (lihat pasal 48).
RUU ini akan
membentuk Konsep Dewan Keamanan Nasional dengan memperlebar peranan Dewan
Ketahanan Nasional (Wantannas) TNI dengan memvalidasi Sekjen Wantannas menjadi
Sekjen Dewan Keamanan Nasional. Sehingga Dewan ini tidak hanya melulu mengurus
ancaman militer, tetapi juga dapat diperankan dalam mengurusi segala tetek
bengek urusan kehidupan masyarakat (Rakyat).
Dengan melebur Wantannas ke dalam Dewan Keamanan
Nasional, maupun seluruh penyelenggaraan keamanan yang selalu melibatkan
institusi militer, akibatnya telah mengaburkan batas antara domain keamanan dan
domain pertahanan. Hal ini akan memperlebar grey area dalam menegakkan
supremasi sipil. Akibatnya, RUU ini menjadi alat legitimasi peran militer dalam
wilayah penegakan hukum.
Sehingga aktivasi
militer ini dapat dilakukannya dengan 2 cara, yaitu sebagai unsur anggota tetap
Forum keamanan Daerah, atau dapat bertindak operasional sebagai pemegang
kewenangan dan kendali daerah.
Yang cukup
merisaukan adalah penanggulangan ancaman pada mulai dari situasi tertib (tertib sipil), darurat sipil, hingga darurat
militer dan perang, dengan melibatkan institusi militer ke dalam setiap tahapan
tersebut. Seharusnya pelibatan institusi militer hanya pada darurat militer,
bencana dan perang. Dalam darurat sipil dapat diperbantukan oleh permintaan
instansi utama terkait (Polri) dengan pertimbangan DPR. Sedangkan dalam keadaan
tertib sipil merupakan kewenangan sepenuhnya institusi sipil.
Dalam draft
RUU Kamnas yang diajukan pada tanggal 23 Oktober 2012, yang telah memangkas 5
(lima) pasal dari draft sebelumnya, sehingga menjadi 55 pasal. Namun demikian,
RUU Kamnas ini telah keliru sejak penyusunannya, akibatnya seluruh pasal yang
dimuat dalam RUU ini telah melabrak supremasi sipil.
Mengapa RUU Kamnas Harus Ditolak walaupun
telah memangkas 5 (lima pasal). Karena seluruh pasal bermasalah. RUU ini
disusun oleh Kementerian Pertahanan cq Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas)
TNI, yang mengakibatkan seluruh perspektif keamanan dalam RUU ini menjadikan
domain utama dalam penyelenggara keamanan adalah militer, jelaslah ini sangat
bertentangan dengan konsep keamanan dan pertahanan negara yang telah ditegaskan
dalam UUD 1945.
Pasal 4 point c: Fungsi
penyelenggaraan keamanan nasional adalah Memelihara dan meningkatkan stabilitas keamanan nasional melalui tahapan
pencegahan dini, peringatan dini, penindakan dini, penanggulangan, dan
pemulihan;
Penjelasan Pasal 4 point c: Yang dimaksud dengan “pencegahan dini”
merupakan langkah dan tindakan untuk mencegah terjadinya potensi ancaman oleh
instansi pemerintah terkait agar tidak berkembang menjadi ancaman nyata
atau memperkecil dampak akibat dari ancaman apabila tetap terjadi;
Yang dimaksud dengan “peringatan
dini” merupakan
tindakan peringatan tentang adanya potensi ancaman terhadap keamanan nasional
berdasarkan informasi yang akurat, komprehensif, dan tepat waktu kepada
instansi pemerintah terkait agar dapat diantisipasi/ditindaklanjuti seawal
mungkin;
Yang dimaksud dengan “penindakan
dini” merupakan
langkah dan tindakan agar potensi ancaman yang timbul dapat ditangani sejak
awal dengan upaya yang tepat, cepat dan terukur sesuai akar dan karakteristik
ancaman oleh instansi pemerintah terkait beserta instansi pendukung untuk
memperkecil dampak akibat ancaman yang terjadi;
Yang dimaksud dengan
“penanggulangan” merupakan langkah dan tindakan penanganan yang tepat, cepat, dan
terukur oleh instansi pemerintah terkait beserta instansi pendukung dan
berbagai elemen masyarakat apabila penindakan dini belum berhasil dan spektrum
ancaman semakin meluas;
Pasal 16: Spektrum ancaman dimulai dari
ancaman paling lunak sampai dengan ancaman paling keras yang bersifat lokal, nasional,
dan internasional dengan berbagai jenis dan bentuknya.
Penjelasan Pasal 16: Yang dimaksud dengan “ancaman paling lunak sampai dengan ancaman paling keras
bersifat lokal sampai dengan nasional” dalam ayat ini adalah dampak dari bentuk dan jenis ancaman
sesuai dengan eskalasi mulai dari keadaan aman dan tertib meningkat menjadi
keresahan sosial, kerusuhan sosial, gawat sampai dengan keadaan darurat yang
meluas dan berkembang mulai dari lokal (daerah) sampai dengan kondisi keadaan
secara nasional.
Pasal 17
ayat (1): “Ancaman keamanan nasional di segala
aspek kehidupan dikelompokkan ke dalam jenis ancaman yang terdiri atas:
a. ancaman militer; b. ancaman bersenjata; c.
ancaman tidak bersenjata.”
Pasal 17 ayat (2) : “Masing-masing jenis ancaman sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) terdiri dari berbagai bentuk ancaman.”
Dalam Penjelasan
Pasal 17 ayat (2) disebutkan: “Bentuk ancaman tidak bersenjata merupakan
ancaman terhadap keamanan public dan keamanan insani, antara lain; pelanggaran
wilayah perbatasan, konflik horizontal dan komunal, anarkisme, persaingan
perdagangan yang tidak sehat (dumping, pemalsu, pembanjak produk) krisis
moneter, bencana alam, bencana non alam dan bencana sosial, kejahatan
transnasional (cyber netic,
narkoba, ekonomi dan pasar gelap), ideology radikalisme, penghancuran
nilai-nilai moral dan etika bangsa, kelangkaan pangan dan air, penyalahgunaan kimia,
biologi, radioaktif, nuklir (pertanian, peternakan, perikanan), pengerusakan
lingkungan (hutan, air, degradasi fungsi lahan), kelangkaan energi, pandemic
(HIV, flu burung, flu babi), sosial (kemiskinan, ketidakadilan, kebodohan,
ketidaktaatan hukum, korupsi dan lain-lain).”
Konsekuensi
dari pasal 4 point c dan 17 ayat (2):
dicantumkannya
kata “Sosial”, “dan lain-lain,” menjadi sangat luas cakupannya. Bila demikian Orang
bodoh, orang miskin, dan “orang lain-lain,” merupakan bentuk ancaman yang dapat
ditindak secara represif sebagaimana disebutkan dalam pasal 4 point c.
Pasal 17 ayat (3) : Bentuk ancaman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat bersifat
potensial atau aktual.
Penjelasan Pasal 17 ayat (3) :Yang dimaksud dengan “bentuk ancaman potensial” adalah ancaman yang mungkin terjadi
namun belum pernah terjadi atau sangat jarang terjadi dan diperkirakan dari
tingkat signifikansi dampak yang ditimbulkan apabila benar-benar terjadi akan
berakibat sangat fatal dan luas terhadap eksistensi dan keselamatan bangsa dan
negara.
Konsekuensi
dari pasal 17 ayat (3):
Pasal ini memperlihatkan
bahwa Mereka yang memiliki niat, pikiran, rencana, ide kreatif atau baru bila dianggap
memiliki potensi ancaman sekalipun belum terjadi, maka dapat dilakukan tindakan
dini (pencegahan, peringatan dan penindakan dini) sebagai disebutkan dalam
pasal 4 point c.
Pasal 4, 16
dan 17 memberikan legitimasi kepada unsur keamanan nasional dan daerah untuk
melakukan tindakan represif kepada individu maupun kelompok yang dianggap “berpotensi”
mengganggu stabilitas (tertib sipil). Kedua pasal ini menjadi dasar hukum
tindakan-tindakan militer (unsur keamanan nasional dan daerah) yang dalam
pasal-pasal selanjutnya dalam RUU ini mempertegas peran militer.
Tataran Kewenangan Komando dan Kendali
Pasal 48 ayat (1) : “Komando dan
kendali penyelenggaraan keamanan nasional:
a. Komando dan kendali tingkat nasional di
tangan Presiden
b. Komando dan kendali tingkat strategi di
tangan pemimpin Kementerian, Panglima Tentara Nasional Indonesia, Kepala
Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa Agung, Kepala Badan Intelejen Negara,
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan pemimpin Lembaga Pemerintah
Non Kementerian;
c. Komando dan kendali tingkat operasional di
tangan Panglima/Komandan Satuan Gabungan Terpadu; dan
d. Komando dan
kendali tingkat taktis di tangan Komandan Satuan Taktis.
Konsekuensi dari pasal 48
Dalam point
c dan d secara tegas disebutkan bahwa kewenangan komando dan kendali dalam
penyelenggaraaan operasional Keamanan
nasional di daerah (Provinsi/Kabupaten/ Kota) dilaksanakan oleh militer (cat:
hanya institusi militer yang memiliki jabatan “Komandan” sebagaimana disebutkan
dalam pasal ini). Padahal harusnya sesuai perundang-undangan yang berlaku bahwa
penyelenggaraan keamanan merupakan domain utama institusi sipil yaitu Polri. Harusnya
Militer hanya dapat terlibat bila diminta bantuan (perbantuan) kepada institusi
yang bertanggungjawab. Sangat jelas bahwa Militer ingin kembali perannya
sebagaimana di masa orde baru, yang dapat melihat rakyat Indonesia sebagai
musuh negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar