(Kisah
lahirnya Arumpone La Saliyu Karampeluwa)
Oleh Ethos
AHM
1398. Tersebutlah
suatu wilayah yang
terletak di sebelah timur sungai Walennae dan selatan sungai Cenrana. Tumbuh kerajaan-kerajaan kecil yang tumbuh
dan saling berperang antara satu dengan yang lain. Suatu masa
kepemimpinan generasi setelah
Manurunge ri Matajang.
Putranya yang menduduki
tahta pemimpin Bone selanjutnya dikenal dengan Arumpone Laummasa, Raja
Bone. Ia
memiliki kemampuan daya ingat yang tajam dan
penuh perhatian. Ia dikenal jujur, adil dan bijaksana dalam menjalankan roda
pemerintahan.
![]() |
Tanah yang
subur, bentangan alam yang menghampar hijau, pepohonan yang selalu siap
ditebang buat dipergunakan, ladang dan sawah pun dipanen. Pada masa pemerintahannya,
rakyatnya mulai memanfaatkan peralatan logam untuk bercocok tanam maupun
berburu.
Bahkan Raja
pun mulai memperkuat perlengkapan
perang bala tentaranya. Pedang, tombak, keris dan badik serta
perlengkapan tameng, mulai ditempa
dari besi. Sehingga ia pun mendapat gelar “Petta Panre Bessie”, pengakuan akan
kepandaiannya mengolah bahan logam. Ia berhasil memanfaatkan perdagangan
besi di Cenrana yang didatangkan dari kerajaan Luwu. Besi yang sumbernya bisa
ditemukan dengan mudah di Luwu.
Laummasa
Petta Panre Bessie
telah mengembangkan wilayah kekuasaan kerajaan Bone. Ia telah menaklukkan
wilayah-wilayah seperti Anro Biring, Majang, Biru, Maloi dan Cellu, hampir
tidak ada perlawanan berarti bagi pasukannya.
Hingga
berselang waktu, di masa usianya yang sudah lanjut dirundung gelisah. Arumpone Laummasa
Petta Panre Bessie, rambut putihnya yang mulai tampak jelas semakin menegaskan
kerutan di raut wajahnya akan usia yang telah mengiringinya. Sekalipun Ia telah
memimpin kerajaannya dengan baik, namun demikian disadarinya bahwa kondisi
kesehatannya pun mulai melemah.
Tatkala
tiba di Bone usai berperang, sampailah kepadanya kabar berita bahwa adiknya
yang bernama We Pattanra Wanuwa yang berada di Palakka, yang telah menjadi
istri Lapattikkeng Arung Palakka akan segera melahirkan. Berita yang
menggembirakan baginya, sekaligus diliputi diliputi ketegangan. Karena putra
yang akan lahir akan menjadi generasi penerus tahta, bukan saja akan menjadi
Raja Palakka, namun juga dapat menjadi pewarisnya, dapat menjadi Raja Bone.
Ia
hanya mempunyai dua putri, bernama Sulewakka dan Suwalle. Putri-putri dari istrinya
yang berasal dari bangsawan biasa, putri dari Matowa Ciung. Raja tidak memiliki
anak pattola, anak yang berhak
menggantikannya kelak yang dapat duduk di singgasana sebagai Mangkau, Raja di
Kerajaan Bone. Kedua putrinya hanyalah tergolong sebagai anaq Cera’.
Dipikirkanlah
saudara-saudarinya yang telah berpencar di berbagai wanua. Saudaranya yang bernama La Wajo Langi telah menyeberang ke
Butung (Buton) dan
menetap disana, sementara La Raja Langi telah menikah dengan We Tenri Sui, dan
jadi penguasa di kerajaan Cinnottabi[1]
bersama istrinya.
Sedangkan
saudara perempuannya, We Samateppa sudah mendampingi pula suaminya, La Ureng
Riwu Arung Mampu. We Tenri Salogan dinikahkan dengan La Ranringmusu Arung
Otting. Begitupula dengan We Arantiega yang kawin dengan La Patongarang Arung
Tanete.
Kini,
We Pattanra Wanuwa yang telah menikah dengan penguasa di Palakka, Lapattikkeng
Arung Palakka, telah menunggu hari kelahiran bayinya. Ia pun sadar, hubungannya
dengan Lapattikeng tidaklah harmonis. Perselisihannya di masa lalu dengan iparnya sebelum menjadi Raja Bone, masih berbekas. Masa lalu, perang yang terus
berlangsung tiga bulan di antara mereka berdua tanpa ada yang menang dan kalah.
Lalu pada akhirnya berdamai dan berikrar mengakhiri perkelahian di antara
mereka. Keduanya menyadari bahwa permusuhan tidak akan membawa keuntungan bagi
mereka. Orang tuanya pun mempererat hubungan Bone dan Palakka dengan menikahkan
adiknya dengan Lapattikkeng Arung Palakka.
Kini,
keponakannya yang akan lahir memiliki darah pattola
sengngeng,[2]
merupakan pewaris tahta dua kerajaan, yang dapat mempersatukan Bone dan
Palakka. Telah beberapa hari ia bermuram diri. Tak biasanya ia berlama-lama
dalam Istananya. Tak ada yang memahami kenapa sang Raja tampak tegang. Bila
hendak perang, sikap seperti itu tak pernah terlihat. Hanya raja yang memahami,
Ia sendirilah yang mengetahui pikiran dan perasaannya.
Arumpone
memikirkan bahwa kelahiran ponakannya akan menjadi peristiwa penting yang kelak
sangat menentukan tahta dua kerajaan. Bila anak yang akan lahir ini dibesarkan
di Palakka, maka Bone akan mengikut ke Palakka. Namun bila ia berhasil membawa
anak ini ke Bone, maka sebaliknya, Palakka lah yang akan bergabung ke Bone.
Setelah
dipikirnya dengan matang, Petta Panre Bessie kemudian menyuruh kedua anaknya
pergi ke Palakka, dimana bibi mereka yang sedang mengandung sang jabang bayi. Arumpone
segera berpesan kepada anaknya, Suwalle dan Sulewakka; ”Berangkatlah kalian ke Palakka. Kalau Puammu telah melahirkan, maka
ambil dan bawa bayi itu secepatnya kemari. Nantilah di sini baru dipotong
ari-arinya dan ditanam tembuninya.”
Raut
kaget di wajah kedua putrinya seketika nampak. Namun, setelah menyimak pesan
ayahnya, tanpa banyak waktu segera berkemas. Berangkatlah keduanya ditemani
beberapa pengawal menyertai perjalanannya.
Tak
banyak rintangan yang dihadapi dalam perjalanan menuju Palakka, hingga tiba di
rumah bibinya. Suwalle dan Sulewakka pun mengikuti detik-detik kelahiran
sepupunya. Hingga lahirlah sepupunya. Tangisan suara bayi pun memecah
keheningan malam.
Di
tengah kesibukan dan kesempatan yang hanya berselang waktu yang sempit, tanpa
membuang waktu lebih banyak, setelah bayi berada dalam gendongan Suwalle, Sulewakka
pun memberikan aba-aba tuk beranjak perlahan menuju ke pintu belakang. Setelah
berhasil keluar lewat pintu belakang tersebut, keduanya pun berlarian kabur membawa sang bayi
dan bersama rombongan pengiringnya meninggalkan Palakka.
Seisi
Istana Palakka menjadi gempar. Saat itu, Lapattikkeng Arung Palakka tidak ada
di tempat. Tak terpikirkan bila kedua keponakannya yang menemani detik-detik
kelahiran putranya telah bermaksud membawanya kabur.
Ketika
mengetahui bahwa anaknya dibawa pergi ke Bone, seketika menjadi marah dan
gundahlah hatinya. Diperintahkanlah pasukan untuk mengejar mereka yang telah membawa
anaknya.
Dalam
pekatnya malam, yang tak cerah di bawah langit, dimana bintang-bintang pun tak
menunjukkan kehadirannya, seakan enggan menyaksikan malam itu. Selama dalam
perjalanan Suwalle dan Sulewakka tidak pernah menengok ke belakang. Terus berlari menembus hutan belantara.
Melewati
tengah malam hingga di pagi buta pengejaran terus dilakukan. Namun pengejaran
itu tidak berhasil, seketika pasukan yang mengejar kehilangan jejak. Kabut
tiba-tiba turun, menghalangi arah pandangan pasukan Palakka yang mengejar
mereka. Obor-obor yang menyertai para pasukan tidak lagi berarti apa-apa di
antara kabut yang menutup rapat-rapat segala ruang yang, menyembunyikan alam di
balik selimutnya.
Dalam
pengejaran yang sangat melelahkan itu, akhirnya para pasukan pengejar tidak
dapat berbuat apa-apa lagi selain kembali ke Palakka dengan tangan hampa.
Sementara
itu, setelah jauh meninggalkan pasukan Palakka, singgahlah rombongan Suwalle
dan Sulewakka beristirahat di tengah perjalanan mereka menuju Bone. Tiba-tiba
setelah tak terdengar apa-apa sepanjang perjalanan, tangisan bayi mulai memecah
dinginnya alam, menyayat pilu.
Paniklah
rombongan itu mencari air, guna menghilangkan dahaga sang Bayi. Beruntunglah
para pengejar sebelumnya tidak lagi memburu mereka, sudah balik ke palakka,
sehingga tangisan itu hanya memecah dini hari, saat lelapnya ayam yang masih
bertengger di antara rimbun pepohonan.
Saat-saat
mereka berputus asa dalam pencarian air, terdengar gonggongan anjing tak jauh
dari tempat rombongan itu beristirahat. Dua orang dari rombongan segera
menghampiri arah gonggongan anjing itu berada. Ditengoklah dari balik rimbun
pohon yang menghalangi.
Setelah
memperhatikan sejenak anjing itu dan apa yang menjadi perhatian anjing itu,
seketika mereka mendekatinya dan anjing itu berlari menjauh, lalu lenyap
dibalik pepohonan. Ternyata yang menjadi perhatian anjing adalah mata air yang
baru saja keluar dari celah tanah. Betapa girangnya, segera memanggil semua
rombongan untuk menikmati mata air tersebut.
Dengan
segera diseduhlah air itu. Dengan memakai telapak tangannya, Sulewakka
meminumkan air itu ke sang bayi yang sementara berada dalam gendongan Suwalle.
Tenanglah sang bayi kemudian. Semua rombongan yang turut bersama dalam
perjalanan itu, mengucap syukur kepada sang Dewata.
Setelah
berbagai rintangan berhasil dilewati, hingga sampailah rombongan mereka di
Bone. Setibanya di Salassae[3],
barulah ari-ari bayi yang baru lahir itu dipotong dan dicuci darahnya. Arumpone
Petta Panre Bessie sangat gembira melihat bayi itu yang merupakan keponakannya
yang akan mewarisi tahta Bone.
Berceritalah
Suwalle dan Sulewakka kepada ayahnya tentang segala peristiwa yang dialami
mereka sepanjang perjalanan dari Palakka hingga sampai di Bone. Begitupula
tentang Saliyu (kabut) yang tiba-tiba
turun menghalangi pandangan para pengejar mereka sehingga berhasil tidak
terkejar lagi.
Setelah
mendengar cerita kedua anaknya, Arumpone Petta Panre Bessie kemudian memberi
nama anaknya “Lasaliyu”, sesuai peristiwa yang telah dialaminya dalam
perjalanan menuju Bone. Bayi laki-laki yang sehat dan memiliki rambut karang[4],
sehingga sang bayi pun kerap dipanggil “Karampeluwa”.
Arumpone
Petta Panre Bessie kemudian mengutus surona
(dutanya) ke seluruh penjuru wilayah kerajaan menemui dewan adat (hadat pituE).
Petta Panre Bessie berhasrat mengumpulkan para arung di Bone untuk membahas
masalah ini.
Kemudian
beberapa orang diperintahkan untuk membangun Baruga. Sebuah bangunan sederhana
berupa panggung sekadar untuk menaungi Baginda beserta anggota Hadat Pitue dari
terik matahari atau hujan.
Pertemuan
dengan para Dewan Adat tersebut dilangsungkan. Petta Panre Bessie menjelaskan
peristiwa itu dan kelangsungan masa depan kerajaan Bone. Disampaikanlah tentang
pewarisnya kelak dan peristiwa yang dilalui kedua putrinya dari Palakka.
Rapat
itu pun mengiyakan pikiran Raja Bone. Bahwa bayi tersebutlah yang berhak
menjadi pewaris tahta Bone selanjutnya, karena timbangan darahnya murni, darah pattola sengngeng atau anak mattola matase, darah Raja yang
mengalir dalam kedua orang tuanya, ayah dan ibu.
Setelah
mendiskusikan hal tersebut kepada dewan adat, bahwa keputusan Raja Petta Panre
Bessie akan segera melantik bayi Putra Arung Palakka tersebut menjadi penerus
Raja Bone di hadapan rakyatnya pagi ini. Hal tersebut keputusan yang sulit
diterima oleh para dewan adat, namun keputusan tersebut merupakan pilihan paling
tepat, guna menghindari pertumpahan darah antara Bone dan Palakka. Bila Arung
Palakka akan berperang melawan Bone, maka sama saja berperang melawan anak, karena
sang bayi telah diangkat menjadi Raja Bone pagi itu.
Pelantikan
tersebut akan menjelaskan kepada Lapattikkeng Arung Palakka, bahwa maksud
peristiwa tadi malam ini dengan dibawanya sang bayi sampai ke Bone tak lain
untuk melantiknya sebagai penerus Raja Bone selanjutnya. Sehingga Arung Palakka
pun harus menerima takdir sang Bayi ini. Ini akan mendamaikan, akan menghindarkan kemungkinan perang dengan kerajaan Palakka yang dapat terjadi.
Seusai
pertemuan tersebut, Petta Panre Bessie, Raja Bone mengundang seluruh rakyatnya
untuk datang berkumpul di istana kerajaan, sepagi mungkin.
Tatkala
matahari mulai menampakkan dirinya di arah timur, mulai berbondong-bondong
rakyatnya datang di halaman depan Barugae.[5]
Terlihatlah pula Matoa pitue (tujuh
dewan adat Bone) telah berkumpul pula di Barugae, beserta rakyatnya yang
berasal dari pitu wanuwa (tujuh unit
utama kerajaan) maupun yang berasal dari daerah-daerah palili[6].
Mereka datang dalam keadaan siap siaga untuk menghadapi kemungkinan perang,
sehingga masing-masing lengkap dengan senjata perangnya. Bendera Woromporonge pun berkibar dengan
gagahnya, menyemangati suasana di pagi hari itu.
Turunlah
Arumpone di Baruga menyambut rakyatnya dan berkata :
”Saya undang kalian untuk
mendengarkan bahwa saya telah mempunyai pewaris tahta kerajaan ini untuk
menjadi penerusku, seorang anak laki-laki yang kuberi nama Lasaliyu
Karampeluwa. Mulai hari ini saya menyatakan bahwa kepada Lasaliyu lah saya menyerahkan
kedudukan saya sebagai Arumpone. Dan kepadanya pula saya serahkan untuk
melanjutkan perjanjian yang mengikat antara Puatta Manurunge ri Matajang dengan
rakyat Bone.”
Haru
biru seluruh orang Bone menyambut pesan yang disampaikan oleh Arumpone,
kegembiraan pun terpancar di seluruh kerajaan Bone.
Setelah
Arumpone menyampaikan pesan kepada rakyatnya, mulailah para arung di Bone
melakukan mangngaru[7], sumpah setia di hadapan sang Raja, Arumpone
Lasaliyu Karampeluwa.
Petta
Panre Bessie kemudian menyematkan simbol pelantikan kepada pewaris tahta Bone,
Karampeluwa, sang bayi yang baru berumur sehari. Setelah itu dinaikkanlah
Karampeluwa ke Langkanae (istana).
Pesta dengan nariule sulolona (acara selamatan
kelahiran) yang sekaligus dirangkai dengan pelantikan sang pangeran mahkota
kerajaan. Pesta dilangsungkan selama tujuh hari tujuh malam.
Waktu
berselang sejak peristiwa itu. Setiapkali Petta Panre Bessie akan bepergian,
bayi itu dipelihara oleh bibinya yang kerap datang berkunjung di bone.
Sampailah
suatu hari yang dibayangkan oleh Petta Panre Bessie tiba, dimana kondisi
kesehatannya yang memang semakin buruk dan terbaring sakit keras. Petta Panre
Bessie pun berpesan bahwa bila nanti ajalnya tiba, maka hendaknya jasadnya
nanti dikubur, tidak dibakar sebagaimana lazimnya para penduhulunya. Sehingga setelah
penguburannya mendapat gelar “Petta Panre Bessie Mulaiye Panreng”[8].
Karampeluwa
boleh dikatakan telah menjadi Raja sejak lahir, karena dalam usia satu malam,
sudah dilantik menjadi Arumpone. Kalau ada sesuatu yang akan diputuskan maka
sepupunya yang bernama Suwalle, anak perempuan Petta Panre Bessie, yang
memangkunya menjadi juru bicaranya. Kemudian yang bertindak selaku Makkedang Tana[9]
adalah sepupunya yang bernama Sulewakka, anak sulung perempuan Petta Panre
Bessie.
To
Suwalle kemudian menjabat sebagai Tomarilaleng
Pertama di kerajaan Bone dan To Salawakka sebagai Makkedang Tana Pertama di kerajaan Bone, yang bertindak sebagai
juru bicara kerajaan pada masa pemerintahan sepupunya Lasaliyu Karampeluwa
sebagai Raja Bone ke-III.
*****
Daftar Bacaan dan kajian :
Prof. Dr. Mattulada. 1995. Latoa, Satu Lukisan Analitis Terhadap
Antropologi Politik Orang Bugis. Makassar: Hasanuddin University Press.
Drs. A. Sultan Kasim. 2002. Aru Palakka Dalam Perjuangan Kemerdekaan
Kerajaan Bone. Bone: Penerbit CV. Walenae.
Drs. Asmat Riady Lamallongeng. 2008.
Catatan disadur dari Lontara’
Akkarungeng ri Bone, milik Drs. A. Amir Sessu yang diterbitkan dengan biaya Pemerintah Daerah Tingkat
I Sulawesi Selatan tahun 1985. http://telukbone.wordpress.com/page/12/
Narasumber
Anonim, 2010.
[1] Cikal
Bakal kerajaan Wajo
[2] Mattola Sengngeng = berdarah takku, Matase, putra/putri mahkota yang kedua orang tuanya adalah Raja.
[3] Istana
[4] Rambut
yang tegak ke atas
[5] Balai
pertemuan
[6] Daerah
taklukan atau bergabung secara damai
[7]
Mengucapkan sumpah setia.
[8] Raja
bone pertama yang dikubur setelah manurunge ri matajang mallajang (raib ke langit).
[9]
Makkedang Tana adalah jabatan Mangkubumi atau Perdana Menteri.