Kamis, 25 Oktober 2012

Blunder RUU Kamnas

Oleh Muhammad L Hakim
Penulis adalah dosen Ilmu Pemerintahan Universitas Brawijaya Malang

Di tengah sorotan dunia internasional atas laporan penegakan demokrasi dan hak asasi manusia (HAM) yang dinilai lamban, pemerintah justru membuat blunder dengan memaksakan pembahasan RUU Keamanan Nasional (Kamnas).

RUU Kamnas yang kini sedang dibahas di Pansus DPR diharapkan menjadi payung hukum demi mengendalikan kamnas, seperti darurat militer, tertib sipil, dan pembentukan dewan keamanan nasional (DKN) yang terdiri dari presiden, wakil presiden, menteri terkait, serta Polri, BIN, BNPT, dan TNI. Dominasi peran militer dalam RUU ini membuat sejumlah kalangan khawatir bakal menjadi pintu masuk kembalinya peran militer dalam menentukan kamnas.

Substansi RUU Kamnas memang dapat menjadi alat efektif untuk memberangus demokratisasi dan kebebasan berekspresi di negeri ini. Itu setidaknya tampak dalam Pasal 17 yang menyebutkan bahwa ancaman keamanan nasional di segala aspek kehidupan dikelompokkan ke dalam ancaman militer, ancaman bersenjata, dan ancaman tidak bersenjata. Definisi itu bermakna bahwa siapa saja, baik wartawan, mahasiswa, aktivis LSM, politisi, pegawai negeri, maupun anak-anak SMA yang membaca buku-buku terlarang, dapat dikatagorikan sebagai ancaman keamanan nasional, terlepas bersenjata ataupun tidak.

Ini kemudian diperkuat dengan Pasal 54 yang menyebutkan bahwa pengawasan terhadap penyelenggaraan sistem keamanan nasional dilakukan secara berlapis melalui mekanisme pengawasan melekat, pengawasan eksekutif, pengawasan legislatif, pengawasan publik, dan pengawasan penggunaan kuasa khusus. Dengan kata lain, siapa pun selalu bisa diawasi jika memang dinilai mengancam kamnas. Di dalam klausul selanjutnya, DKN berwenang menangkap, menahan, dan menyadap.

Sejumlah pengamat, sebagaimana dilansir koran ini (KJ: 16/10/2012), meyakini bahwa RUU tersebut bakal menabrak sistem hukum nasional, termasuk menciptakan disharmoni UU, yakni memorak-porandakan 69 UU serta bisa menciptakan banyak grey area baru.

Bahkan dia berpotensi menerapkan sistem hukum Draconian Law yang membunuh kebebasan sipil karena membenarkan tindakan represif. Pendek kata, semangat RUU Kamnas antidemokrasi yang berpotensi melanggar HAM.


Potret Buram

Kekhawatiran tersebut bukanlah tanpa alasan sebab bangsa ini memiliki pengalaman getir dalam hal penegakan HAM dan demokratisasi. Potret buram selama 32 tahun kekuasaan Orde Baru (Orba) telah menghadirkan beragam tragedi penculikan dan pemberangusan, demi dan atas nama stabilitas kamnas.

Rezim militer Orba bahkan memulai kekuasaannya dengan membantai anggota dan simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI), salah satu parpol pemenang pemilu ketiga. Pembantaian massal dilakukan tanpa pengadilan.

Kemudian, laksana jamur di musim hujan, penculikan, pemberangusan, pembantaian, dan sederet tragedi antidemokrasi lainnya bermunculan, mulai dari tragedi Waduk Nipah, peristiwa Tanjung Priok, Waduk Kedung Ombo, hingga Tragedi 27 Juli.

Istilah-istilah mengerikan yang oleh Michel Foucault (1984) disebut sebagai refleksi dari "dominasi kekuasaan" bermunculan, mulai dari penembak misterius, Komkamtib, makar, hingga subversif. Dengan dukungan penuh dari ABRI, rezim Orba menjalankan kekuasaan dengan tangan besi. Ratusan aktivis hilang, bahkan di akhir kekuasaannya (1997-1998) tercatat 20 aktivis prodemokrasi hilang entah ke mana.

Karena itu, saat gerakan reformasi 1998 berhasil melengserkan Soeharto, publik demikian berharap demokrasi dan HAM. Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang HAM disahkan, diikuti pengesahan UU No 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Kedua UU ini merupakan regulasi yang mendasari adanya penegakan HAM di Indonesia.

Sayang, dalam praktik, UU itu justru direduksi menjadi "hukum" yang penegakannya dibatasi. Laksana pena, hukum hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas, Pasal-pasal dalam kitab perundang-undangan diinterpretasi sedemikian rupa untuk melindungi "orang besar" yang bersalah.

Instrumen hukum HAM mungkin kini telah banyak mengadili pelaku-pelaku HAM di Indonesia dan memberi setitik keadilan bagi korban. Namun, justifikasi atas pelanggaran HAM hanya dibaca dari ketersediaan aturan-aturan. Tidak ada langkah progresif dalam menafsirkan pasal per pasal dari sebuah undang-undang, sebagaimana Satjipto Rahardjo (2002) menyebutnya dengan hukum progresif. Yakni, gagasan yang muncul dari sebuah kegalauan menghadapi kinerja hukum yang gagal dalam menyelesaikan persoalan-persoalan kebangsaan, terutama sejak bergulirnya era reformasi. Rakyat berharap terhadap hukum sebagai juru penolong makin melambung tinggi.

Supremasi hukum sudah dianggap sebagai panacea, obat mujarab, bagi semua persoalan. Harapan tersebut sangat membebani hukum untuk mencapai hasil sebagaimana diharapkan. Di lain pihak, berbagai polling dan survei malah menunjukkan cukup banyak prestasi yang tidak memuaskan. Ini menyebabkan kesenjangan yang melebar antara harapan dan kenyataan sehingga menuai kekecewaan.

Dalam ranah penegakan HAM, proses ini gagal menginterpretasikan kandungan nilai-nilai HAM yang lebih luas dari sekadar pasal-pasal tertulis. Hal inilah yang menjadi sebab kejumbuhan antara hukum biasa dan hukum HAM. Terus berlangsungnya pemahaman dan praktik seperti ini menyebabkan berjaraknya atau tertinggalnya nilai-nilai universal kemanusiaan yang membentuk konsep HAM dari praktik penegakannya.

Di sisi lain, penegakan HAM sering direcoki kepentingan-kepentingan jangka pendek. Upaya penegakan HAM melalui pembuatan instrumen-instrumen hukum yang gencar dilakukan selepas rezim Orba dalam implementasinya terombang-ambing kepentingan para aktor politik yang bernaung di sejumlah lembaga negara. Kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Indonesia, seperti di daerah-daerah konflik, kerusuhan Mei 1998, hingga pembunuhan Munir, merupakan sederet kasus yang tidak terselesaikan karena kentalnya intervensi politik terhadap penegakan HAM.

Kontrol Sipil

Sederet persoalan tadi bertambah runyam saat pemerintah dan DPR, sejak tahun 2003, begitu getol menggulirkan pentingnya pengesahan RUU Kamnas. Jika RUU ini benar-benar disahkan, penegakan HAM dan demokratisasi benar-benar akan menjadi senjakala di langit Indonesia.

Karena itu, upaya-upaya penolakan terhadap RUU Kamnas sedianya diimbangi dengan tuntutan penegakan HAM dan demokratisasi secara lebih serius. Prinsip-prinsip umum (natural rights) yang sejak lama digagas John Locke (1632-1704), seperti kedaultan rakyat, kekuasaan mayoritas, hak-hak minoritas, jaminan HAM, persamaan di depan hukum, proses hukum yang wajar, pembatasan pemerintahan secara konstitusional, serta pluralisme sosial ekonomi dan politik harus terus dibumikan.

Maka, tidak ada jalan lain kecuali memisahkan kekuasaan sipil dan militer secara tegas sembari terus meneguhkan pembagian wilayah kerja antara TNI (pertahanan) dan Polri (keamanan).

Dalam kaitan ini, Samuel P Huntington (1977) mengemukakan konsep yang menjelaskan cara kontrol sipil sebagai Subjective Civilian Control (Maximizing Civilian Control), dengan memaksimalkan kekuasaan sipil. Konsep ini dapat diartikan sebagai upaya meminimalisasi kekuasaan militer dan memaksimalkan kekuasaan kelompok-kelompok sipil. Dalam konteks Indonesia, konsepsi Huntington dibutuhkan untuk menyemai benih demokratisasi dan menegakkan HAM.

Sumber tulisan : Koran Jakarta, Selasa, 23 Oktober 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar