Pemerintah akhirnya merevisi naskah RUU tentang Keamanan Nasional. Namun, revisi tersebut tidak signifikan. Substansi RUU Kamnas tetap berbahaya dan mengancam kebebasan dan supremasi sipil.
Naskah RUU Keamanan Nasional (Kamnas) tertanggal 16 Oktober 2012 itu disampaikan pemerintah dalam rapat kerja dengan Panitia Khusus (Pansus) RUU Kamnas, Selasa, 23 Oktober 2012. Dalam naskah RUU Kamnas terakhir ini terdapat perubahan dibandingkan sebelumnya, yaitu semula terdiri atas 60 pasal jadi 55 pasal. Namun, setelah dicermati, revisi ini tidak mengubah karakter dasar RUU Kamnas yang kental nuansa sekuritisasinya.
Masih Mengancam
Rumusan tentang kamnas dan ancaman terhadap kamnas masih luas dan multitafsir (Pasal 1 Ayat 1 dan 2). Sementara tujuan kamnas menekankan pada ”keberlangsungan pembangunan nasional” (Pasal 3). Hal ini memberikan ruang untuk penafsiran subyektif dari penyelenggara kamnas. Bahkan, kritik atau unjuk rasa memprotes kebijakan pemerintah bisa dikategorikan ancaman.
Sumber Foto: dari berbagai Media Online |
Mengualifikasi ideologi radikalisme sebagai ancaman jelas suatu kemunduran. Upaya mengontrol pikiran atau ideologi masyarakat/kelompok masyarakat ini bertentangan dengan konstitusi yang menjamin kebebasan berpendapat dan berorganisasi. Dimasukkannya diskonsepsional perumusan legislasi dan regulasi sebagai ancaman akan mengebiri fungsi legislasi parlemen.
Luasnya jenis ancaman ini praktis mengancam semua kekuatan di luar eksekutif. Apalagi dikaitkan dengan penempatan TNI sebagai unsur utama penyelenggara kamnas (Pasal 20). TNI dalam posisi yang leading dibandingkan Polri dalam penyelenggaraan kamnas. Paradigma ini akan mengembalikan peran militer dalam penanganan persoalan sosial kemasyarakatan.
RUU Kamnas juga tetap memasukkan tertib sipil sebagai salah satu status keadaan kamnas (Pasal 10 Butir d). Pada status ini, Presiden bisa mengerahkan TNI tanpa perlu persetujuan DPR. Padahal, dalam kondisi tertib sipil belum terjadi peristiwa atau kondisi yang abnormal sehingga penanganannya masih bisa dilakukan secara normal oleh institusi yang ada, yaitu Polri.
Memang, dalam menyelenggarakan kamnas, Presiden dibantu Dewan Keamanan Nasional (Pasal 23). Tetapi DKN diketuai Presiden. DKN yang punya wewenang merumuskan strategi kamnas sampai mengendalikan penyelenggaraannya adalah ”tangan” dari Presiden. Praktis, Presiden sendiri yang merumuskan strategi kamnas sekaligus mengendalikannya. Tak ada ruang bagi DPR mengontrol kewenangan Presiden mengerahkan TNI dalam status tertib sipil.
Masih panjang daftar pasal RUU Kamnas yang ”mengancam”. Tetapi uraian di atas sudah bisa menggambarkan betapa masih berbahayanya RUU Kamnas bagi kebebasan dan supremasi sipil. Hal ini karena revisi yang dilakukan pemerintah sekadar formalitas untuk seolah-olah memenuhi permintaan DPR.
DPR, melalui surat pimpinan DPR tanggal 11 April 2012, telah mengembalikan RUU Kamnas kepada pemerintah. Surat pimpinan Dewan itu meneruskan hasil Rapat Pleno Pansus RUU Kamnas pada 20 Maret 2012 yang memutuskan mengembalikan RUU Kamnas kepada pemerintah untuk dilakukan penyempurnaan, baik dari sisi naskah RUU, naskah penjelasan dan naskah akademik, maupun dari sisi koordinasi dan sosialisasi di internal pemerintah.
Keengganan merevisi RUU Kamnas sudah terlihat dari tanggapan pemerintah atas surat pimpinan DPR. Presiden, melalui surat tertanggal 9 Mei 2012, menyampaikan kembali RUU tersebut kepada DPR tanpa melakukan penyempurnaan. Tanpa perubahan satu titik-koma pun.
Harus Ditarik
DPR, dalam hal ini Pansus RUU Kamnas, seharusnya saat itu bisa langsung mengembalikan lagi RUU tersebut kepada pemerintah. Namun, konstelasi politik berubah. Jika dalam rapat pleno tanggal 20 Maret 2012 ada tujuh fraksi setuju mengembalikan RUU Kamnas kepada pemerintah dan hanya dua fraksi yang sepakat RUU dibahas, dalam rapat pleno 10 Juli 2012 tinggal tiga fraksi yang konsisten untuk mengembalikan RUU Kamnas.
Kini, setelah akhirnya pemerintah merevisi RUU Kamnas, tetapi hanya bersifat kosmetik belaka, Pansus harus mengambil sikap. Penulis berpandangan, langkah yang tepat adalah mengembalikan lagi RUU ini kepada pemerintah untuk dilakukan revisi total. Atau, jika merujuk pada Peraturan DPR Nomor 3 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penarikan RUU, meminta pemerintah untuk menarik RUU tersebut.
Mestinya, sesuai amanat reformasi, tidak ada tempat bagi RUU yang mengancam kebebasan dan supremasi sipil!
Penulis adalah Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI-P
Sumber Tulisan: KOMPAS, 12 November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar