Minggu, 04 November 2012

RUU Keamanan Nasional dan Capres 2014


Oleh: Anton Dewantoro

Di banyak jajak pendapat yang dilakukan oleh berbagai surat kabar disebutkan bahwa Prabowo Subiyanto adalah kandidat presiden yang akan mendapatkan suara terbanyak jika saja Pemilu dilaksanakan tahun 2012 ini. Rakyat rindu figur pemimpin yang tegas dan berwibawa, oleh karena itu pemimpin dari kalangan militer dianggap bisa menjawab kebutuhan ini. Eh…eh…eh, tunggu lho bukannya Pak SBY yang sekarang masih jadi presiden dulunya orang militer juga?

Publik seolah dikondisikan bahwa “keamanan” Indonesia saat ini sedang terguncang sehingga kemakmuran bangsa terganggu. Waduh, rada Jaka Sembung cuy! Ketegangan di Poso yang ditandai dengan kematian dua orang anggota polisi mejadi pengesahan bahwa kondisi keamanan negara ini memang sedang terancam.
Hal ini mirip dengan peristiwa tahun 1965 dulu dimana tujuh orang jenderal  diculik dan dibunuh, keadaan dianggap darurat, lalu beruntun menjadi tirani selama 32 tahun dengan alasan keamanan. Rancangan Undang-undang (RUU) Keamanan Nasional, yang kini sedang digodok di DPR,  seolah menjadi jawaban atas potensi gangguan keamanan ini.


Keamanan itu bagi saya pribadi artinya tidak jelas. Kalau dilihat dari cara preman kampung bekerja, keamanan artinya “bayar atau engkau tidak aman”. Definisi keamanan yang canggih muncul dari mantan wakil presiden Jusuf Kalla yang mengartikan keamanan adalah kesejahteraan ekonomi. Kalau perut kita kenyang dan bisa tidur dengan nyenyak mengapa juga kita harus kurang kerjaan mengacau keamanan. Mungkin lain ceritanya dengan mereka yang pekerjaannya berurusan dengan keamanan, kalau kondisi aman-aman saja sepertinya tidak asyik.

Jika keamanan berarti operasi militer seperti di Aceh dahulu lupakan saja. Operasi militer hanya akan membuat warga semakin geram kepada pemerintah. Presiden Suharto yang berlatar belakang militer tidak tahu bahwa ada dialog yang bisa menyelesaikan konflik semacam itu.

Pemimpin militer biasa dianut mentah-mentah oleh pasukannya, semua orang selalu bilang “siap” saat perintah dikeluarkan. Sementara pemimpin sipil biasa berhadapan dengan realitas masyarakat yang tidak bisa sembarangan di suruh-suruh. Jokowi misalnya, kesuksesannya di Solo sebagai walikota tidak terlepas dari latar belakangnya sebagai pengusaha kayu yang mengalami jatuh bangun. Dia juga tidak bisa seenaknya memerintah karyawan karena bisa-bisa bukannya nurut malah resign. Mau tidak mau pemimpin sipil harus belajar menempatkan bawahan sebagai mitra sukses bukannya abdi yang pasrah bongkokan.

Bukannya saya benci orang militer namun kalau dilihat dari semua presiden yang pernah memimpin Indonesia justru mereka yang berlatar belakang militer kurang begitu sukses (kalau disebut gagal total kurang sopan). Di banyak artikel mantan presiden Suharto disebut sebagai presiden paling korup sedunia. Kemakmuran semu yang kita rasakan selama orde baru adalah hasil hutang. Sementara kekayaan negeri ini dibiarkan dijarah oleh bangsa asing karena konon presiden Suharto paling gampang diajak kerjasama. Sebagian kekayaan lagi dikuasai oleh orang-orang terdekat presiden dan dialirkan melalui yayasan-yayasan milik keluarganya.

SBY sejak awal saya yakin beda. Dia adalah jenderal yang cukup lurus dan bersih. Pemberantasan korupsi menjadi prioritas utama pemerintahannya. Namun kenyataan yang terjadi agak ironis karena malah orang-orang terdekat presiden yang duduk di Partai Demokrat banyak terseret kasus korupsi. Sikapnya yang kurang tegas dan terlalu kompromistis dengan partai-partai politik koalisinya membuat pemerintahannya berjalan kurang greget dan kurang gebrakan terutama di periode kedua ini. Satu yang paling kentara adalah tidak beraninya pemerintahan SBY menaikkan harga Premium dan Solar walaupun sebenarnya anggaran negara dalam bentuk subsidi sudah terlalu banyak bocor dan menguap begitu saja menjadi asap kendaraan.

Lalu apa bagusnya pemimpin sipil? Bung Karno memang tukang kawin, pidatonya terlalu ngoyoworo, dan caranya memimpin negara cenderung diktator. Namun dia bukan orang yang mudah diajak kompromi sehingga Amerika dan Inggris sudah masuk ke Indonesia untuk mengeksploitasi habis-habisan minyak, gas, dan tembaga (baca: emas) milik kita. Karena itulah dengan segala cara Sukarno berusaha digulingkan.

B.J.Habibie selalu dikambing hitamkan karena dalam masa tugasnya yang hanya 512 hari kita kehilangan teritori di Timor Timur. Saya yakin kalau bukan Habibie presidennya kita juga sudah kehilangan Aceh, Papua, dan Maluku Selatan. Yang jarang diketahui publik adalah bahwa B.J.Habibie adalah presiden yang paling banyak mengeluarkan produk undang-undang yang membawa kita pada kehidupan politik demokrasi seperti saat ini.

Semua tahu Gus Dur adalah bapak pluralisme yang membuka  kesempatan bagi golongan minoritas untuk bisa duduk sejajar tanpa diskriminasi. Birokrasi dipangkas sehingga banyak orang kalang-kabut hingga bersekongkol menurunkan dirinya via sidang istimewa MPR.

Presiden wanita pertama RI, Megawati, memang tampak kurang pandai. Namun demikian mesin di belakangnya adalah benar-benar putra terbaik bangsa. Mungkin jarang ada yang ingat kalau KPK berdirinya sejak era Megawati yakni tahun 2003 dan lewat pemerintahan Megawati pula krisis ekonomi yang terjadi sejak 1998 berangsur-angsur pulih.

Jika di level negara mungkin anda akan berargumen karena mengukur kesuksesan atau kegagalan suatu negara sangat banyak parameternya dan pemaparan saya di atas mungkin terlalu berat sebelah kepada sipil. Mari kita lihat di level perusahaan dimana laba adalah parameter utama.

Pertamina pernah dipimpin oleh Ibnu Sutowo, seorang mantan jenderal yang dekat dengan Suharto. Pada masa kepemimpinan Ibnu Sutowo Pertamina membukukan utang sebesar 10,5 milyar dollar Amerika yang setara dengan sepertiga GDP keseluruhan Indonesia pada tahun 1976-1978. Ini sungguh masa-masa kelam bagi Pertamina sebagai perusahaan minyak nasional di negara yang waktu itu masih sangat kaya minyak.

Kini pertamina dipegang oleh seorang sipil, perempuan pula, bernama Karen Agustiawan. Di bawah Karen, Pertamina membukukan laba bersih 2,7 milyar dollar (2011) dan terus meningkat sepanjang tahunnya. Belum lagi ekspansi ke beberapa negara Asia dan Afrika menjadikan Pertamina perusahaan kelas dunia mengejar Petronas Malaysia dan PTT Thailand yang sudah lebih dulu mendunia.

Kembali ke capres, mbok ya jangan militer lagi lah, plis. Memang sih pemimpin militer hampir selalu lebih ganteng dari pemimpin sipil, tapi kita kan butuh kemajuan bukan cuma butuh pajangan ganteng di kantor kelurahan.

Sumber Tulisan: http://antondewantoro.wordpress.com, Rabu, 24 Oktober 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar